Bisnis.com, JAKARTA - Wacana redenominasi kembali mencuat setelah Kementerian Keuangan menjadikan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah sebagai salah satu fokus perhatian pada periode 2020-2024.
Hal tersebut tertuang dalam PMK No.77/PMK.01/2020 terkait rencana strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Setidaknya, rencana ini sudah dibahas sejak Darmin Nasution menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia periode 2009 hingga 2013.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan redenominasi rupiah?
Redenominasi merupakan proses penyederhanaan penyebutan mata uang rupiah. Dalam kajian sebelumnya, redenominasi akan menghilangkan 3 nol dalam nominal mata uang saat ini, tetapi tidak akan mengurangi nilainya.
Dilansir situs resmi Bank Indonesia (BI) redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat, sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, di mana yang dipotong hanya nilai uangnya.
Baca Juga
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja sehingga tidak merugikan masyarakat. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang).
Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
BI memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal. Kebijakan ini biasanya dilakukan di saat ekspektasi inflasi berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil, stabilitas perekonomian terjaga, dan ada jaminan terhadap stabilitas harga serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.
Adapun, pemerintah memprioritaskan redenominasi dalam rencana strategis Kemenkeu 2020-2024 dengan dua alasan.
Pertama, kebutuhan terkait efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah.
Kedua, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah.