Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kontras Angan & Rencana Energi Prabowo: Target Listrik EBT 100% Muskil Terwujud

Presiden Prabowo menargetkan bauran EBT 100% dalam 10 tahun. Namun, RUPTL PLN 2025-2034 masih merencanakan pembangunan PLTU.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (18/8/2024)/Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam kelistrikan nasional dapat mencapai 100% dalam 10 tahun ke depan. Ambisi ini dinilai sukar dicapai lantaran kontradiktif dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034.

Adapun, target bauran EBT mencapai 100% itu jelas lebih cepat dari target awal negara-negara di dunia, yakni pada 2060.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai target Prabowo itu sukar dicapai. Menurutnya, masih banyak tantangan yang perlu dituntaskan.

Dia menyebut, pemerintah perlu konsisten membuat kebijakan untuk memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.

"Selama pemerintah dalam RUPTL masih mendorong pembangkit batu bara dan gas alam, maka selama itu akan sulit mencapai bauran EBT 100% karena dalam RUPTL 2025-2034 itu masih memasukkan adanya investasi di sektor PLTU dan gas alam," ucap Bhima kepada Bisnis, Senin (18/8/2025).

Dalam RUPTL teranyar, pemerintah akan menambah pembangkit listrik hingga 69,5 gigawatt (GW). Memang, 76% dari total kapasitas itu berasal dari EBT. Namun, pemerintah juga masih berencana menambah porsi pembangkit fosil sebesar 15 GW, yakni gas sebesar 10,3 GW dan batu bara 6,3 GW.

Di sisi lain, realisasi bauran EBT baru mencapai 15,2 GW per semester I/2025. Angka tersebut hanya mencapai 14,5% dari total pembangkit nasional yang mencapai 105 GW, masih jauh panggang dari api untuk mencapai target bauran EBT 100%.

Bhima berpendapat untuk mewujudkan ambisi bauran EBT 100% dalam 10 tahun ke depan, pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan. Ini bisa diambil dari pajak karbon, kerja sama internasional hingga pinjaman bank.

Menurutnya, pemerintah tak bisa bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, APBN memiliki ruang fiskal yang sempit.

Selain itu, pemerintah perlu membuat payung hukum untuk mendorong bauran EBT tersebut.

"Salah satunya mempercepat pengesahan RUU EBT yang sekarang ada di DPR harapannya bisa segera disahkan untuk memberikan insentif lebih banyak lagi dan memberi dukungan regulasi untuk pengembangan EBT," imbuh Bhima.

Dia juga berpendapat, untuk mendorong bauran EBT perlu dukungan dari industri. Bhima mencontohkan, jika bauran EBT ditargetkan 100%, maka listrik dari panel surya pun termasuk di dalamnya.

Oleh karena itu, dibutuhkan industri komponen manufaktur panel surya di dalam negeri dengan kapasitas besar. Dengan begitu, impor komponen infrastruktur EBT juga bisa ditekan.

Bhima menambahkan bahwa untuk mendorong bauran EBT, diperlukan kesiapan dari sumber daya manusia (SDM).

"Karena pembangunan EBT memerlukan transisi pekerja, keahlian baru, terutama dari lulusan sekolah vokasi, perguruan tinggi, harus membuka jurusan EBT sehingga dari segi SDM harus disiapkan dari sekarang," jelas Bhima.

Upaya Pemerintah Dorong EBT

Selain mengumumkan target bauran EBT 100% dalam 10 tahun ke depan, Prabowo juga menganggarkan Rp37,5 triliun untuk pengembangan EBT dalam RAPBN 2026. Dana pengembangan energi bersih itu merupakan bagian dari anggaran ketahanan energi yang mencapai Rp402,4 triliun.

Detail terkait anggaran ketahanan energi pada RAPBN 2025 ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers RUU APBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025).

Dia menuturkan, mayoritas anggaran ketahanan energi paling besar adalah alokasi untuk subsidi energi. Namun, di samping itu, anggaran untuk pengembangan EBT dan insentif perpajakan pun tak kalah besar.

"Ada insentif perpajakan dan EBT cukup signifikan, Rp37,5 triliun [untuk pengembangan EBT] dan insentif perpajakannya Rp16,7 triliun," ucap Sri Mulyani.

Dana untuk pengembangan EBT itu dialokasikan untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi hijau sebanyak 63 unit.

Ketergantungan pada PLTU

Asal tahu saja, Indonesia masih banyak bergantung terhadap PLTU, khususnya yang berbasis batu bara dalam memenuhi kebutuhan energi. Hal itu mengingat batu bara masih menjadi sumber energi yang paling murah.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 253 PLTU hingga 20 April 2022. PLTU itu tersebar di berbagai provinsi. Dari jumlah tersebut, PLTU terbanyak berada di Kalimantan Timur, yaitu 26 unit. PLTU juga banyak tersebar Banten dan Jawa Timur yang masing-masing sebanyak 22 unit.

Kemudian, ada 16 PLTU yang berada di Bangka Belitung. Ada pula 13 PLTU yang beroperasi di Kalimantan Barat. Sementara, Papua Barat hanya memiliki satu PLTU di wilayahnya.

Posisinya diikuti oleh enam provinsi yang sama-sama memiliki enam PLTU, yaitu Aceh, Bengkulu, Jakarta, Jambi, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat. Adapun, terdapat dua provinsi yang tidak memiliki PLTU sama sekali. Kedua provinsi tersebut adalah Yogyakarta dan Maluku.

Lebih lanjut, PLTU yang memiliki kapasitas terbesar di Indonesia adalah PLTU Jawa 7. PLTU yang terletak di Kabupaten Serang, Banten tersebut berkapasitas 2 x 1.000 megawatt dari dua unit.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro