Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan RI Chatib Basri memprediksi pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi virus Corona (Covid-19) akan lebih lama dibandingkan negara lain, khususnya Singapura dan Vietnam.
Menurutnya, hal itu terjadi karena porsi perdagangan internasional terhadap pertumbuhan ekonomi nasional (gross domestic product) tidak lebih dari 30 persen. Jumlah tersebut jauh dibandingkan Singapura yang mencapai 200 persen.
"Ketika dunia akan mulai pulih, Indonesia justru melambat. Pemulihan ekonomi nasional membutuhkan waktu lebih panjang karena kita terintegrasi [perdagangan global], seperti Singapura atau Vietnam," katanya dalam diskusi webinar yang digelar oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dan The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), Selasa (17/6/2020).
Itu sebabnya, lanjut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 membukukan nilai yang cukup positif, yaitu 2,97 persen (yoy). Padahal, banyak negara maju yang sudah mencatat kontraksi pada awal tahun akibat meluasnya wabah Covid-19 dari Wuhan, China ke berbagai negara.
Chatib memprediksi pemulihan ekonomi dunia setelah pandemi Covid-19 lebih mengikuti bentuk U (U shape) dibandingkan bentuk V (V shape). Fase perlambatan akan berlangsung lebih lama dari perkiraan, meskipun sudah mencapai dasar (bottom).
Menurutnya, krisis Corona telah merontokkan sisi pasokan (supply), tetapi permintaan (demand). Jika mengacu pada kondisi di China, Chatib menuturkan sebagian pabrik-pabrik di Negeri Tirai Bambu sudah beroperasi. Namun, roda perekonomian belum bergerak maksimal.
Baca Juga
"Covid-19 telah menimbulkan supply-demand shock. Pasokan di China mulai pulih, tetapi demand masyarakat masih lemah. Makanya, pemerintah perlu kebijakan fiskal untuk menjadi jump start mendorong konsumsi," ucapnya.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada akhir 2020 (full year) diperkirakan mengalami kontraksi sangat dalam, yaitu -2,5 persen hingga -3,9 persen jika wabah virus Corona (Covid-19) tidak tertangani secara optimal. Prediksi tersebut dikeluarkan oleh The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD).