Bisnis.com, JAKARTA - Potensi inefisiensi anggaran sangat mungkin terjadi dalam kondisi 'darurat' pandemi Corona atau Covid-19.
Oleh sebab itu, pemerintah harus memperkuat koordinasi antar lembaga supaya implementasi kebijakan benar-benar bisa sampai ke akar rumput.
Pengajar Ekonomi Universitas Diponegoro Wahyu Widodo mengatakan problem anggaran saat ini dipicu oleh ketidakpastian yang sangat tinggi yang dihadapi pemerintah.
Di sisi lain, menurutnya dampak Covid-19 saat ini sebenarnya belum bisa diprediksi trennya karena perkembangan angka nasionalnya fluktuatif.
"Artinya, ini New Normal di tengah arah yang tidak pasti," kata Wahyu kepada Bisnis yang dikutip, Rabu (17/6/2020).
Dengan kondisi tersebut, lanjut Wahyu, mitigasi risiko tetap penting dilakukan. Apalagi seluruh negara di dunia menerapakan kebijakan 'ultra responsif' menghadapi Covid-19 ini untuk menenangkan pasar.
Baca Juga
"Saya kira Kementerian Keuangan sudah sangat hati-hati dalam memformulasikan kebijakan anggaran untuk merespon Covid-19. Defisit di-manage untuk bisa kembali dibawah 3 persen pada tahun 2023," jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah kembali mengubah anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari sebelumnya Rp677,2 triliun naik menjadi Rp695,2 triliun. Kenaikan alokasi anggaran ini dipicu oleh bertambahnya pagu untuk pos anggaran pembiayaan korporasi.
Naiknya anggaran PEN yang sekarang hampir mencapai Rp700 triliun praktis mengubah outlook defisit dalam APBN 2020.
Jika sebelumnya outlook defisit mencapai 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB) dengan asumsi alokasi PEN mencapai Rp677,2 triliun.
Penambahan anggaran tersebut mejadi Rp695,2 triliun atau naik Rp18 triliun, maka outlook defisit anggaran mencapai Rp1.057,3 triliun atau naik dari sebelumnya Rp1.039,2 triliun. Dengan catatan asumsi pendapatan negara tidak berubah dan penambahan ada di pos belanja.