Bisnis.com, JAKARTA — Maskapai penerbangan dinilai sulit untuk menerapkan fase normal baru selama tidak adanya harmonisasi aturan antara pemerintah pusat dan daerah seperti yang terjadi pada masa pembatasan sosial berskala besar.
Pemerhati masalah penerbangan yang juga Anggota Ombudsman Alvin Lie mengatakan bahwa fase normal baru di sektor penerbangan sebagai hal yang belum jelas dan pasti. Pasalnya, dalam kondisi saat ini, peraturan dan standar untuk penerbangan domestik juga masih berubah-ubah.
Dia mencontohkan sesuai dengan Permenhub No. 18/2020 diatur jumlah penumpang pesawat maksimal 50 persen dari kapasitas pesawat. Namun, hal ini masih menimbulkan perdebatan antara maskapai dan International Air Transport Association (IATA).
Menurutnya, dengan mempertimbangkan pengosongan setiap satu kursi, tingkat okupansi maksimal bisa mencapai 2/3 dari kapasitas yang tersedia sehingga bukan hanya sebesar 50 persen.
Tak hanya terkait dengan aturan jaga jarak, persyaratan perjalanan juga berbeda-beda setiap daerah.
Dia mencontohkan Provinsi DKI Jakarta dan Bali yang mulai menerapkan persyaratan ketat dan berbeda dengan gugus tugas untuk test swab dan polymerase chain reaction (PCR) juga surat izin khusus untuk keluar masuk, sedangkan daerah lain belum menerapkan hal tersebut.
Baca Juga
“Jadi apa yang dihadapi maskapai sekarang adalah kejelasan peraturannya itu seperti apa supaya mereka bisa menyesuaikan. Selama peraturan ini masih sering berubah-ubah. Antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak ada harmonisasi kemudian juga masing-masing mempunyai peraturan sendiri-sendiri, sulit bagi maskapai domestik untuk menyatakan siap atau mampu menyesuaikan diri,” jelasnya, Kamis (28/5/2020).
Alvin menekankan bahwa implikasi aturan yang belum jelas, membuat maskapai mengehentikan sementara operasionalnya seperti yang dilakukan oleh Lion Air Group.
Selain itu, katanya, menyiapkan sektor transportasi udara dalam normal baru juga masih sulit karena belum ada standarnya.
Dia melihat dari negara-negara lain seperti di Eropa, bahkan di Filipina awak kabin menggunakan alat perlindungan diri (APD) tetapi berbeda dengan Singapore Airlines yang tidak menggunakan APD, tetapi awak kabin cukup menggunakan masker dan sarung tangan.
“Jadi, di negara-negara lain masing-masing masih punya standar sendiri-sendiri, tapi yang pasti jumlah penumpang signifikan, drastis, bahkan hanya mencapai antara 5 persen hingga 10 persen dari normalnya. Kalau sudah ada kejelasan tentang persyaratan baru maskapai bisa mempertimbangkan,” tuturnya.