Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pebisnis smelter menolak formula penghitungan pembelian bijih nikel berkadar rendah dari penambang nikel.
Untuk diketahui, formula penghitungan komoditas nikel tertera dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Harga Patokan Mineral. Beleid ini merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batu bara.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso mengatakan Kementerian Perindustrian tengah menyusun formula harga mewakili para Smelter.
Pasalnya, formula harga yang ada di beleid tersebut cenderung hanya mewakili usulan para penambang. Adapun selama ini harga bijih nikel yang dibeli ke para penambang sekitar US$22 hingga US$26.
"Kami menolak formula harga nikel dalam beleid itu," ujarnya kepada Bisnis, Senin (25/5/2020).
Dia menuturkan sampai saat ini masih belum ada kesepakatan harga mineral nikel antara pengusaha penambang dengan smelter.
"Kementrian Perindustrian yang diwakili oleh Ditjen Ilmate masih memberikan arahan untuk mencari solusi win - win.
Kemenko maritim dan investasi akan memanggil para pihak kembali. Kemenko Ekonomi ingin melihat dari perspective hilirisasi optimisasi penerimaan negara," kata Prihadi.
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan Harga Patokan Mineral (HPM) merupakan payung hukum dan kepastian hukum bagi para penambang.
Selama ini, sebelum adanya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Harga Patokan Mineral harga jual bijih nikel ditentukan oleh industri smelter.
Namun demikian, beleid ini belum sepenuhnya diterapkan karena industri smelter melalui Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) belum sepakat.
"Mereka sebut saat ini mengalami tekanan akibat bea anti dumping dari China dan Amerika sehingga pihak Kementrian Perindustrian dan AP3I tetap mengacu pada peraturan lama bahwa HPM hanya dijadikan sebagai dasar penetapan royalti," tuturnya.
Meidy menuturkan usulan industri smelter tersebut telah mencederai keadilan dan merugikan penambang serta merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun saat ini yang menjadi dasar acuan harga oleh pihak industri smelter adalah untuk kadar 1,8 persen dengan nilai rerata US$22 per wet metrik ton (wmt).
Lalu HPM nikel Mei 2020 sebesar US$27,17 per wmt sehingga royalti yang harus dibayarkan sebesar US$2,717 per wmt. Padahal, Harga Pokok Produksi (HPP) untuk setiap ton bijih nikel mencapai US$20,34.
"Penambang akan mengalami kerugian sebesar US$1,057 per ton," ucapnya.
Meidy menerangkan industri smelter dapat menerima ketentuan HPM apabila melalui formula yang diusulkan yaitu HPM didapat dari 0,9 dikali HMA (Harga Mineral Acuan) dikali CF1 (Correction Factor kadar nikel sesuai dengan usulan ESDM) dikali CF2 (Correction Factor Kadar Fe) dikali CF3 (Correction Factor Rasio SiO2/MgO) dikali l Ni Grade dikali (100 persen dikurangi MC).
Adapun nilai 0,9 merupakan penyesuaian harga London Metal Exchange (LME) karena pada kenyataannya industri smelter tidak pernah bisa menjual sesuai harga LME, paling besar adalah 10 persen di bawah harga LME.