Bisnis.com, JAKARTA – Ekonomi Jepang tenggelam ke dalam resesi pada kuartal I/2020 karena konsumen membatasi pengeluaran untuk kebutuhan pokok dan perusahaan memangkas investasi, produksi, dan perekrutan untuk tetap bertahan di tengah pandemi virus Corona.
Dilansir dari Bloomberg, Kantor Kabinet Jepang melaporkan produk domestik bruto (PDB) terkontraksi 3,4 persen pada kuartal I dibandingkan dengan kuartal sebelumnya karena dimulainya pembatasan aktivitas sosial menekan pengeluaran konsumen dan ekspor.
Analis sebelumnya memperkirakan penurunan hingga 4,5 persen, mengikuti kontraksi tajam dalam tiga bulan sebelumnya ketika ekonomi tertekan oleh kenaikan pajak penjualan dan badai topan yang merusak.
Menteri Ekonomi Jepang Yasutoshi Nishimura mengatakan setelah rilis data tersebut bahwa kondisi ekonomi telah memburuk sejak kuartal pertama dan pemerintah akan mengeluarkan anggaran ekstra kedua dengan cepat untuk memberikan stimulus tambahan.
Penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut mengonfirmasi bahwa negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu jatuh ke dalam resesi bahkan sebelum deklarasi darurat nasional oleh Perdana Menteri Shinzo Abe pada bulan April.
Sejumlah analis bahkan memperkirakan perekonomian akan terkontraksi 21,5 persen pada kuartal II, yang terbesar sejak 1955.
Baca Juga
"Angka hari ini memberi membeli pandangan bahwa dampak virus corona mulai membebani perekonomian yang sudah lemah karena kenaikan pajak penjualan," kata ekonom NLI Research Institute, Taro Saito, seperti dikutip Bloomberg.
Hampir dua pekan setelah parlemen mengeluarkan anggaran ekstra pertama, PM Abe pekan lalu mengatakan rencana paket stimulus kedua yang diharapkan memberikan dukungan sewa untuk usaha kecil dan subsidi yang lebih besar untuk perusahaan yang tidak memecat pekerja.
Stimulus yang ada, termasuk pengeluaran untuk pemberian uang tunai kepada rumah tangga, sudah melampaui 20 persen dari PDB.
Aktivitas bisnis baru saja dibuka kembali di prefektur di luar perkotaan Jepang, dengan pencabutan keadaan darurat pekan lalu karena jumlah infeksi menurun. Tetapi perekonomian sebagian besar pusat-pusat ekonomi seperti Tokyo dan Osaka masih terhenti.
Permintaan ekspor Jepang diperkirakan tetap tertekan untuk waktu yang lama sejumlah negara belum mengalami kemajuan mengenai rencana pembukaan kembali aktivitas perekonomian mereka.
Di sisi domestik, pengeluaran tidak cenderung meningkat dengan cepat bahkan setelah keadaan darurat dicabut karena orang cenderung tetap waspada untuk keluar dan rumah tangga menekan pengeluaran mereka sebagai tanggapan terhadap hilangnya pendapatan.