Bisnis.com, JAKARTA - Ratusan perizinan, sertifikasi, dan implementasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit dilaksanakan tidak sesuai dengan kriteria atau ketentuan terkait dengan kehutanan dan perkebunan.
Hal ini tercantum dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terangkum dalam IHPS II/2019. Dalam IHPS II/2019 ini BPK menemukan lima pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan sawit yang tersebar dari Sumatra hingga Kalimantan.
Pertama, sebanyak 194 perusahaan perkebunan kelapa sawit pada 15 kabupaten yang diuji petik belum memiliki hak atas tanah atau Hak Guna Usaha (HGU) seluas ±1,02 juta hektare.
Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya legalitas tanah terhadap usaha perkebunan yang belum memiliki hak atas tanah, serta terdapat potensi kekurangan penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkebunan atas usaha perkebunan yang belum memiliki hak atas tanah.
Kedua, sebanyak 181 perusahaan perkebunan kelapa sawit menggunakan kawasan hutan seluas ±349,63 ribu hektare serta 110 perusahaan perkebunan kelapa sawit menggunakan kawasan gambut seluas kurang lebih 345,23 ribu hektare belum melengkapi dokumen persyaratan perizinan.
Menurut BPK, praktik lancung dari perusahaan sawit ini mengakibatkan terganggunya fungsi kawasan hutan sesuai dengan peruntukannya serta potensi kebakaran hutan dan kerusakan kawasan hidrologis gambut.
Baca Juga
Ketiga, sebanyak 187 perusahaan perkebunan belum memenuhi kewajiban pembangunan kebun masyarakat, pabrik pengolahan, dan 20 persen pembangunan kebun inti. Keempat, sebanyak 584 perusahaan belum memenuhi persyaratan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) System.
Belum terpenuhinya persyaratan tersebut mengakibatkan daya saing komoditas sawit nasional atas usaha perkebunan yang belum memiliki sertifikat ISPO, dan sertifikat ISPO yang dimiliki perusahaan belum mencerminkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi berkeadilan, hingga kearifan lokal.
Kelima, sebanyak 222 perusahaan perkebunan memiliki izin tumpang tindih. Hal tersebut mengakibatkan potensi sengketa kewilayahan terhadap tumpang tindih antarizin.