Bisnis.com, JAKARTA - Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) akhirnya angkat bicara terkait dengan penahanan kapal kargo yang mengangkut sekitar 1.700 TEUs petikemas berisi barang-barang komoditas ekspor asal Jawa Timur.
Kapal yang dimaksud adalah MV Seaspan Fraser milik perusahaan pelayaran asal Kanada, Seaspan ULC. Kapal berbendera Hong Kong tersebut disewa oleh perusahaan pelayaran asal China, Cosco Shipping untuk layanan pengumpan atau feeder Surabaya--
Melalui keterangan tertulis yang diterima oleh Bisnis.com pada Senin (4/11/2019), Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) IV Tanjungpinang menyatakan bahwa proses hukum terhadap kapal MV Seaspan Fraser sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adapun, penahanan kapal tersebut dilakukan lantaran telah melakukan kegiatan lego jangkar di Perairan Berakit, Kepulauan Riau tanpa izin kepada otoritas syahbandar setempat.
Kegiatan lego jangkar tanpa izin merupakan suatu pelanggaran hukum Undang-Undang Pelayaran Indonesia yaitu tidak memenuhi tata cara berlalu lintas di laut. Selain itu, Lantamal IV Tanjung Pinang menduga aktivitas tersebut dapat mengancam keamanan maritim Indonesia dan berpotensi mencemari perairan setempat.
"Pada hari Rabu, 2 Oktober 2019 sekira pukul 19.30 WIB, KRI Kujang-642 melaksanakan pemeriksaan terhadap sebuah kapal dengan nama MV. Seaspan Fraser yang berbendera Hongkong pada posisi 01 23’ 241” U – 104 40’ 257’ T," demikian dinyatakan oleh Lantamal IV Tanjung Pinang.
Baca Juga
MV Seaspan Fraser bertolak dari Pelabuhan Tanjung Perak pada 29 September 2019 dan diperkirakan tiba di Pelabuhan Singapura pada 2 Oktober 2019 atau setelah menempuh 4 hari pelayaran.
Lebih lanjut, berdasarkan dari sejumlah barang bukti yang ditemukan dalam proses penyidikan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik TNI AL bersama ahli dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kepada nakhoda bernama Kryachko Andriy dan 24 anak buah kapal (ABK) dinyatakan bahwa MV. Seaspan Fraser berada dalam kondisi darurat atau force majeur saat melego jangkar di Perairan Berikat.
Hal tersebut yang akhirnya menjadi dasar dilepaskannya kapal yang telah ditahan selama hampir 1 bulan di Tanjung Uban, Bintan, Kepulauan Riau.
Terkait dengan lamanya proses penyidikan dan pemeriksaan, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Lantamal IV Tanjungpinang Mayor Marinir Saul Jamllaay mengatakan hal tersebut terjadi lantaran harus diproses dengan melibatkan ahli dari Dirjen Hubla Kemehub di Jakarta.
"Proses hukum telah dilaksanakan sesuai dengan KUHAP dan proses penyidikan membutuhkan waktu karena kami perlu keterangan ahli dari Dirjen Hubla di Jakarta," katanya kepada Bisnis.com, Senin (4/11/2019) malam.
Penahanan MV Seaspan Fraser dinilai menimbulkan kerugian yang tak sedikit bagi sejumlah pelaku usaha di Jatim. Pasalnya, mereka mau tidak mau harus membayar klaim yang diajukan oleh importir lantaran barang yang diminta tak kunjung datang.
"Kami harus bayar klaim, makin lama ya makin mahal klaimnya. Belum lagi ada kemungkinan barang-barang yang rusak karena terlalu lama disimpan. Sebagian [diantaranya] ada hasil pertanian dan perikanan," kata Ayu S. Rahayu, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim belum lama ini.
Selain itu, dikhawatirkan pula peristiwa tersebut menjadi preseden buruk bagi Indonesia yang tengah menggenjot kinerja ekspornya di mata dunia. Tak menutup kemungkinan pelaku usaha yang tersebar di penjuru dunia akhirnya enggan mengimpor barang-barang dari Indonesia lantaran takut mengalami hal serupa.
"Ini sangat memukul kami, [pelaku usaha] yang berorientasi ekspor. Begitupun bagi Indonesia, ini bakal jadi preseden buruk," tegasnya.
Lebih lanjut, Ayu mengaku pihaknya belum mengetahui berapa nilai pasti dari barang-barang yang diangkut oleh MV Seaspan Fraser. Namun, ditaksir nilai dari barang-barang tersebut mencapai Rp850 miliar dengan asumsi barang yang diangkut oleh satu unit petikemas berukuran 20 feet nilainya sekitar Rp500 juta.