Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) terkait ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Adapun KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46/2016 tentang kajian lingkungan yang ditujukan untuk memastikan kebijakan, rencana, atau program pemerintah menjamin keberlanjutan serta meminimalkan dampak negatif dan risiko lingkungan hidup.
Plt. Inspektur Jenderal KLHK Laksmi Wijayanti mengatakan isu yang telah teridentifikasi di antaranya adalah kerusakan lingkungan akibat penambangan, penurunan kualitas hutan, ancaman terhadap habitat satwa liar, gangguan pada tata air, dan risiko pencemaran.
Dalam proses KLHS, pihaknya tengah mengumpulkan data dan informasi tentang ekosistem mangrove, sebaran habitat, ruang hidup dan ruang gerak satwa liar daratan seperti orang utan dan bekantan, perairan seperti pesut, lumba-lumba, dan buaya, maupun berbagai jenis burung.
Perhatian khusus kajian ini diberikan pada wilayah mangrove serta perairan Teluk Balikpapan dan delta Mahakam. Laksmi menambahkan pihaknya juga tengah menganalisis karakter daya dukung lingkungan.
"Kaltim itu salah satu wilayah yang ketersediaan airnya sempat terbatas," katanya, Senin (16/9/2019).
Isu lubang tambang pun menjadi salah satu fokus penting lainnya. Inventarisasi lubang tambang, kata Laksmi, terus dilakukan agar jumlah yang terdata akurat dan tidak simpang siur.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Sigit Hardwinarto menjelaskan berdasarkan data kawasan hutan Provinsi Kalimantan Timur yang mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.718/Menhut-II/2014 pada 29 Agustus 2014, calon ibu kota yang berada pada sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara bisa berada pada kawasan hutan, yaitu ada taman hutan raya, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, serta bukan kawasan hutan atau areal penggunaan lain.
Sigit menyampaikan, dalam proses penyusunan KLHS ini, perlu adanya revisi tata ruang. "Di Kaltim ini memang sudah saatnya dilakukan peninjauan kembali RT-RW nya, yang biasanya dalam 5 tahun sekali, karena ada dinamika pembangunan," sarannya.
Dia menambahkan percepatan penggunaan, pemanfaatan, atau pelepasan kawasan hutan untuk calon lokasi ibu kota dapat ditempuh melalui beberapa alternatif. Di antaranya perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, melalui revisi RT-RW atau perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan secara parsial.