Bisnis.com, JAKARTA--Legalitas lahan perkebunan sawit rakyat menjadi batu sandungan untuk mendapatkan sertifikat kelapa sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung tak menampik laporan mengenai rendahnya capaian sertifikasi ISPO untuk kebun petani swadaya. Masalah legalitas lahan dan pendanaan disebut menjadi batu sandungan utama yang menyebabkan baru 0,1 persen lahan kebun sawit rakyat dari total 5,807 juta hektare (ha) yang mendapat sertifikat ISPO.
Pasalnya, ada lahan kebun sawit petani yang masih tercatat sebagai bagian dari kawasan hutan, yakni sekitar 56% dari total kebun sawit rakyat.
“ISPO ini bagus, tapi perlu dicatat syarat utama dan pertama untuk memperoleh sertifikat ISPO adalah [kebunnya] harus di luar kawasan hutan. Persoalannya sekarang, 56 persen kebun milik petani itu ada di kawasan hutan. Untuk memperoleh ISPO ada delapan syarat. Jangankan bicara syarat yang keenam, tujuh, delapan, syarat yang pertama saja sudah gagal,” katanya pada Bisnis, Selasa (23/7/2019).
Gulat berpendapat isu status kebun sawit rakyat ini perlu segera diselesaikan. Ia mengusulkan agar pemerintah mengambil kebijakan yang dapat mengakomodasi agar kebun petani tersebut dikeluarkan dari bagian kawasan hutan.
Jika benang kusut status kebun ini terurai, Gulat berujar target 75 persen kebun sawit rakyat mendapat sertifikat ISPO pada 2025 bisa terealisasi.
Baca Juga
“Petani dalam kawasan hutan itu sifatnya sudah ketelanjuran. Dia tidak mengetahui kalau itu kawasan hutan. Peraturan itu muncul baru 5-6 tahun terakhir, sementara sawit petani sudah berusia rata-rata 10 sampai 20 tahun. Jadi, negara dalam hal ini harus mengambil kebijakan bahwa lahan petani yang di dalam kawasan itu harus dikeluarkan dari kawasan hutan,” papar Gulat.
Selain permasalahan legalitas lahan, Gulat menyebutkan kendala lain yang harus dihadapi petani adalah biaya pengurusan sertifikat yang tinggi. Petani swadaya sendiri sejatinya memperoleh bantuan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), namun bantuan dana tersebut baru mencakup program peremajaan sawit.
“Biaya tidak murah karena dia harus ditinjau oleh lembaga survei dan harus ada assessment [evaluasi] oleh auditor. Itu kan berbiaya mahal semua. Kalau ini dibebankan kepada petani atau kelompok tani, siapa yang menanggung biayanya?” tuturnya.
Maka dari itu, Gulat berharap BPDP-KS dapat mengalokasikan dana khusus untuk sertifikasi ISPO bagi kebun sawit milik petani swadaya.