Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat konsumsi penduduk Indonesia ke sektor perumahan menurut catatan Bank Indonesia mengalami penurunan dan diprediksi berlangsung sepanjang tahun ini.
Sebagaimana dikutip dari hasil survei konsumen Bank Indonesia, Senin (8/7/2019), preferensi responden yang ingin menempatkan kelebihan pendapatannya ke pembelian atau pembangunan properti dalam setahun mendatang turun dari 24 persen pada Mei 2019 menjadi 21,60 persen pada Juni 2019.
Adapun, jumlah responden yang menyatakan akan membangun atau membeli rumah dalam setahun ke depan pun turun dari 7,50 persen pada survei Mei 2019 menjadi 6,70 persen pada bulan ini.
Presiden Direktur PT Summarecon Agung Tbk. Andrianto P. Adhi mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian Indonesia yang kurang stabil pada awal tahun ini. Hal itu menjadikan rupiah sempat melambung dan inflasi.
“Karena ketidakstabilan ekonomi ya, menjelang pemilu ya, inflasi menjelang Lebaran juga. Terus ada periode mau masuk sekolah juga, orang tidak fokuskan konsumsinya ke beli rumah. Jadi, walaupun, misalnya, pemerintah sudah memberikan keringanan pajak, atau pembiayaan ya, daya belinya tetap kembali harus melihat keseluruhan perekonomian,” katanya kepada Bisnis, Senin (8/7/2019).
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sempat naik juga memicu kenaikan suku bunga, hal ini kemudian, kata Andrianto, memengaruhi suku bunga lainnya, termasuk kredit pemilikan rumah (KPR) sehingga memengaruhi daya beli.
Baca Juga
“Kami dari pengembang mengatasinya dengan banyak-banyak bekerja sama dengan bank supaya bisa menyediakan kemudahan pembiayaan. KPR sekarang juga mulai ada pergeseran, tidak jadi pilhan pembiayaan utama, bisa pakai cash cicilan bertahap, bahkan sampai 36 kali,” lanjut Andrianto.
Presiden Direktur Triniti Land Tbk. Ishak Chandra menyebutkan bahwa pembelian rumah menggunakan KPR tidak lagi menjadi pilihan pembiayaan satu-satunya.
“Sudah mulai banyak pembeli di Triniti yang bayarnya tunai bertahap. Pembayaran cara itu tentu lebih memudahkan pembeli, enggak ribet karena enggak perlu mengisi data seperti kalau mengajukan KPR, uangnya juga langsung ke pengembangnya,” katanya.
Adapun, Corporate Secretary PT Intiland Development Tbk. (DILD) Theresia Rustandi menyebutkan bahwa penurunan tingkat minat beli rumah juga karena kemungkinan konsumen merasa lebih mudah menyewa hunian dibandingkan harus membeli.
“Buat anak muda, yang sibuk banget sama pekerjaannya sepertinya lebih mudah sewa. Memang bayar IPL [iuran pengelolaan lingkungan] lebih mahal di apartemen dibandingkan dengan punya rumah tapak, tapi kayak bersih-bersih tinggal telepon, ada apa yang rusak juga tinggal telepon. Makanya itu juga mungkin yang menyebabkan pembelian rumah menurun,” ujarnya.