Bisnis.com, JAKARTA – Setelah sempat menuai pro dan kontra, pemerintah akhirnya merelaksasi ketentuan Controlled Foreign Companny atau CFC Rules terutama terkait dengan skema deemend dividend bagi penghasilan yang diperoleh dari badan usaha luar negeri (BULN) nonbursa.
Dalam ketentuan yang baru, seperti tertuang dalam PMK No.93/2019, pemerintah memberikan beberapa alternatif misalnya terkait dengan penghitungan deemed dividend yang semula dihitung berdasarkan laba setelah pajak.
Artinya, pemerintah tidak membedakan penghasilan yang bersifat aktif dan pasif, tetapi sekarang ditentukan berdasarkan jumlah netto setelah pajak atas penghasilan tetentu yang diperoleh dari penghasilan pasif.
Penghasilan pasif atau passive income dalam aturan terbaru mencakup dividen, bunga, sewa dalam pengertian sewa yang diperoleh dari BULN nonbursa terkendali terkait penggunaan tanah atau bangunan maupun sewa selain properti yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, royalti, dan keuntungan atas penjualan.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan bahwa perubahan kebijakan ini untuk mendorong para pelaku usaha asal Indonesia lebih ekspansif. Pasalnya,
ketentuan sebelumnya dianggap menghambat gerak para pelaku usaha tersebut.
“Ya ini menggantikan PMK 107/2017, alasannya PMK sebelumnya dapat menghampat para pelaku usaha memperluas usahanya di luar negeri,” kata John kepada Bisnis, Senin (1/7/2019).
Dalam catatan Bisnis, pembahasan beleid ini sudah dilakukan sejak tahun lalu. Otoritas pajak waktu itu menganggap bahwa revisi beleid itu akan membedakan antara pendapatan yang bersifat pasif dan aktif.
Keputusan untuk merevisi aturan tersebut dilakukan, karena regulasi yang berlaku saat ini dianggap mendistorsi daya saing berusaha. Apalagi, mekanisme yang berlaku saat ini mengharuskan pengusaha menyetor PPh kepada Ditjen Pajak atas dividen BULN nonbursa yang belum dibagi.
Selain alasan tersebut, PMK 107/2017 juga dianggap mengangkangi Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), karena memperluas basis penghitungan pajak atas dividen BULN non-bursa dari semula hanya menyasar ke pengendali langsung kemudian mencakup pengendali tak langsung BULN nonbursa.
Padahal, kalau merujuk ke UU PPh, aturan ini hanya mengatur kepemilikan langsung penyertaan modal WPDN di BULN non-bursa paling rendah 50% atau secara bersama-sama memiliki dengan WPDN lainnya dengan penyertaan modal minimal 50%.
Adapun pengertian jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu dalam aturan yang baru merupakan jumlah bruto penghasilan tertentu setelah dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tertentu atau bagian pajak penghasilan yang terutang, dibayar atau dipotong atas penghasilan tertentu, dalam hal terdapat pajak penghasilan yang terutang, dibayar atau dipotong atas penghasilan tertentu tersebut.
Sementara itu, Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menjelaskan, kehadiran PMK 93/2019 ini bisa disebut merevisi hal yang sebelumnya ada dalam PMK No.107/2017 khususnya pada Pasal 2. Menurutnya, dalam PMK 107/2017 yang dianggap sebagai deemed dividend berlaku untuk penghasilan secara luas yang diterima oleh BULN nonbursa.
Adapun, dalam PMK 93/2019 yang baru , deemed dividend lebih merujuk kepada penghasilan yang bersifat pasif dan bukan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha.
“Dengan kata lain, PMK 93 lebih targeted kepada jenis penghasilan yang memang umumnya dikelola oleh CFC yang sengaja memarkir dana dan penghasilannya di luar negeri untuk menghindari pajak di Indonesia yang menganut sistem worldwide,” jelas Bawono.
Selain itu, aturan ini juga mencegah adanya pemajakan berganda atas penghasilan aktif yang dilakukan oleh perusahaan terkendali. Singkatnya, PMK baru ini jauh lebih menyasar target dan memiliki spirit untuk secara tepat menyasar ke pencegahan penghindaran pajak melalui skema CFC.
“Model deemed dividend dengan targeted income juga sesuai rekomendasi dari BEPS Action 3 serta sudah menjadi international best practices,” jelasnya.
Di lain pihak, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan bahwa skema deemed dividend yang baru jauh lebih adil dan bisa mendorong para pelaku usaha Indonesia untuk lebih berekspansi.
Apalagi ketentuan ini secara tidak langsung juga mengakui porsi penghasilan yang sudah dipajaki di luar negeri dan pajak yang dibayar di luar negeri. “Yang lama terlalu progresif, ini masih lebih adil,” tukasnya.