Bisnis.com, JAKARTA - Keluhan terkait dengan pengelolaan dan pemilikan rumah susun dari Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun masih terhitung tinggi. Aturan pemerintah yang baru diharap bisa jadi solusi.
Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Ibnu Sina Chandranegara menyebutkan bahwa memang selama ini negara tidak cukup hadir dan terlibat dalam pengelolaan rumah susun.
“Apabila merujuk kepada konstelasi negara yang dianut di Indonesia, penyediaan tempat tinggal oleh negara merupakan hasil dari hubungan reciprocal antara kewajiban dan hak warga negara,” ungkapnya belum lama ini.
Kewajiban tersebut, yang berkaitan dengan apa yang harus dikerjakan oleh warga negara, minimal meliputi tiga hal. Pertama, membayar pajak. Kedua, melakukan bela negara, dan Ketiga, mentaati hukum.
Terkait dengan pemenuhan hak bertempat tinggal, Ibnu menjelaskan, peran negara memiliki sifat ganda dalam kebijakan penyediaan tempat tinggal, yaitu sebagai kepentingan pasar dan kepentingan sosial. Seharusnya, pembuat kebijakan sangat mempertimbangkan pilihan untuk berfokus pada aspek pasar atau kepentingan sosial.
“Di DKI Jakarta, penyediaan rumah susun masih menghadapi persoalan soal bagaimana meletakkan peran negara dalam pemenuhan hak penyediaan tempat tinggal dan kesejahteraan. Persoalan utamanya adalah dasar hukum yang lemah bagi pengaturan rumah susun Indonesia dinilai menjadi penyebab maraknya konflik antara penghuni rumah susun dengan pihak pengembang,” tegasnya.
Baca Juga
Undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun menurut Ibnu kurang lengkap dalam menyelesaikan kompleksitas masalah rumah susun. Alhasil, banyak masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan rumah susun.
“Aturan tersebut memberikan kepercayaan yang sangat tinggi kepada pengembang untuk menyelesaikan masalah rumah susun. Padahal, sangat sulit mencari pengembang yang benar-benar berkomitmen untuk kepentingan konsumen,” sambung Ibnu.
Beberapa persoalan yang muncul akibat regulasi yang tidak jelas pun beragam, antara lain soal pembentukan P3SRS, organisasi tersebut harusnya terbentuk paling lambat satu tahun sejak serah terima unit satuan apartemen.
“Di lapangan justru berkata lain, ada upaya pengembang nakal untuk melanggengkan pengelolaan apartemen tanpa melibatkan pemilik dan penghuni. Pembentukan P3SRS yang semestinya menjadi wadah para penghuni ternyata tak banyak yang terealisasi. Pengembang berlindung di balik UU, dengan menafsirkan P3SRS tak bisa terbentuk ketika unit-unit apartemen belum ludes terjual 100%,” ungkapnya.