Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mixed Use Jadi Penyelamat Pasar Ritel Jakarta

Perkembangan pasar ritel, terutama di Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia kian menyusut tiap tahunnya akibat kebijakan moratorium. Kehadiran Mixed-use menjadi alternatif bianis ritel.
Ilustrasi maket mixed use Transpark Juanda Bekasi/JIBI-Endang Muchtar
Ilustrasi maket mixed use Transpark Juanda Bekasi/JIBI-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA--Perkembangan pasar ritel, terutama di Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia kian menyusut tiap tahunnya. Penyusutan dimulai sejak diberlakukannya moratorium untuk pembangunan mal baru pada masa pemerintahan mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 2011 untuk menghentikan pengembangan mal hingga 2012.

Aturan tersebut kemudian diperpanjang pada masa kepemimpinan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejak itu, pertumbuhan pengembangan pusat perbelanjaan di Jakarta terus mengalami penurunan.

Berdasarkan data Savills Indonesia, pada 2013 pasok ritel hanya bertumbuh pada rata-rata 90.000 meter persegi per tahun, penurunan yang tajam dari pertumbuhan sepanjang 2005—2013 dengan kenaikan jumlah pasok hingga 160.000 meter persegi per tahun.

Alasan utama dari penurunan itu adalah moratorium mal yang ditujukan untuk melindungi perkembangan pasar tradisional dari perkembangan pesat di pasar moderen.

“Di samping itu, padatnya jumlah pusat perbelanjaan di beberapa wilayah menyebabkan kemacetan,” ungkap Anton Sitorus, Kepala Bidang Riset Savills Indonesia pekan lalu.

Dengan aturan tersebut, pengembang terus mencari alternatif untuk tetap bisa mengembangkan propertinya di pasar ritel. Salah satunya dengan membangun proyek mixed-use. Sekitar 60% dari proyek baru sepanjang 2014—2018 adalah proyek mal berkonsep mixed-use atau terintegrasi.

Namun, dengan banyaknya bangunan mixed-use yang penggunaannya tidak berfokus atau tidak dipasarkan secara khusus sebagai pusat ritel, membuat jumlah lalu lintas penyewa yang menyewa ruang ritel di pusat perbelanjaan mengalami penurunan dan menambah tingkat kekosongan di pasar ritel.

Menilik balik ke awal 2010-an, berdasarkan data Savills Indonesia, tingkat serapan mal selalu lebih tinggi dari kenaikan jumlah pasoknya. Sepanjang 2010—2013, rata-rata kenaikan pasokan mencapai sekitar 145.000 meter persegi per tahun. Sementara itu, tingkat serapannya mencapai rata-rata sekitar 155.000 meter persegi per tahun.

Mulai 2014 hingga 2018, pasok mal menurun dengan tambahan rata-rata sekitar 460.000 meter persegi. Namun, serapannya menurun lebih parah lagi, hanya rata-rata sekitar 200.000-an meter persegi.

“Sejumlah pasok baru yang jadi pada 2018 kemungkinan akan masuk ke pasar pada awal kuartal pertama 2019. Beberapa di antaranya bahkan sudah ada yang soft opening. Dari keseluruhan tambahan pasok, diperkirakan 54% dari mal kelas atas dan 46% dari kelas menengah,” imbuh Anton.

Ke depan, Savills memproyeksikan dari sisi tambahan pasok akan stabil, tidak akan ada peningkatan yang signifikan. “Dari segi harga kami juga optimistis ke depan bisa membaik.”

Saat ini, keseluruhan pasok mal di Jakarta mencapai 3,10 juta meter persegi dengan adanya pasokan baru sebanyak 8.000 meter persegi dan terserap 1.300 meter persegi pada sepanjang 2018.

Adapun, tingkat keterisiannya mencapai 87,30% dan harga sewanya rata-rata sekitar Rp350.000 per meter persegi per bulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Mutiara Nabila

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper