Bisnis.com, JAKARTA - Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi (Pataka) mengingatkan kepada Kementerian Pertanian agar berhati-hati dalam memproduksi isu surplus jagung seperti saat ini yang disampaikan mencapai sebesar 12,92 juta ton.
Pasalnya, Direktur Eksekutif Pataka, Yeka Hendra Fatika menilai bahwa logika surplus yang dibangun Kementan, secara teknik dan ekonomis sangat tidak mungkin terjadi.
"Kementerian Pertanian perlu berhati-hati dalam memproduksi isu surplus jagung. Karena logika surplus yang dibangun Kementan, secara teknik dan ekonomis sangat tidak mungkin terjadi," ujarnya, saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Kamis (21/2/2019).
Yeka menerangkan bahwa angka produksi padi yang dikeluarkan Kementan telah dikoreksi Badan Pusat Statistik (BPS) dengan over estimasi sebesar 43,43%. Maka, menurut Yeka, berkaca dengan hal itu, data jagung pun berpotensi mengalami hal yang sama.
Kementerian Pertanian mencatat surplus jagung sebesar 12,92 juta ton. Surplus disebabkan karena adanya luas panen jagung 2018 sekitar 5,3 juta hektar.
Maka dengan asumsi satu hektar memerlukan benih jagung rata-rata sebesar 20 kilogram, maka pada 2018 diperlukan benih jagung sebanyak 106.000 ton benih. Padahal kapasitas produksi benih nasional tidak pernah melebihi 60.000 ton.
"Selain itu, jika surplus jagung mencapai 12,94 juta ton, maka setidaknya memerlukan komplek pergudangan, yang bentuknya seperti gudang Perum Bulog di Kelapa Gading itu mencapai sebanyak 3245 gudang.
Dan untuk memenuhi gudang itu, lanjut Yeka, dipastikan memerlukan dukungan lahan sekitar 162.250 hektar atau 1622,5 km2 dan bangunan itu merupakan jajaran dari 6.490 Silo berkapasitas 2000 ron per Silo.
"Lalu, kalau jagung sebanyak itu diangkut pakai truk dengan kapasitas 7 ton, maka setidaknya memerlukan truk sebanyak 1,85 juta truk," truk.
Kemudian, jika harga jagung diasumsikan sebesar Rp4000/kg, maka diperlukan modal sebesar Rp51,92 triliun.
"Siapa pelaku usaha yang stupid mengalokasikan dana sebanyak itu untuk menyimpan tambahan surplus jagung tersebut, perlu investasi totalnya sebesar Rp12,98 triliun. Jadi total investasi untuk menyimpan surplus jagung tersebut sebesar Rp64,9 triliun," terangnya.
Sementara itu, saat ini juga masih ada impor jagung. Sebagai contoh, misalnya di 2015, sekitar 3,2 juta ton, kala itu saja seringkali ada keluhan harga jagung dalam negeri anjlok.
Lantas, kaya dia, kalau surplus sampai 10 juta ton saja, tidak terbayang bagaimana keluhan petani jagung. "Bisa bisa mereka tidak mau tanam jagung lagi di musim berikutnya karena harga jagung pasti anjlok tidak karuan," ujarnya.
Logika lainnya, jika ada surplus jagung, tidak perlu juga ada impor gandum untuk pakan. Namun fakta mencatat, pasca ditutupnya impor jagung, pemerintah membuka impor gandum untuk pakan selama periode Juli 2017-2018 sebanyak 3,2 juta ton.