Bisnis.com, WASHINGTON — Masa emas industri gas dunia diprediksi segera tiba menyusul beralihnya konsumsi bahan bakar tidak ramah lingkungan, seperti minyak mentah dan batu bara, ke gas alam. Indonesia pun mau tak mau harus memperkuat infrastruktur gas bumi guna meraih peluang.
Prospek industri gas dunia menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (29/6/2018). Berikut laporan selengkapnya.
Berdasarkan proyeksi, Amerika Utara, terutama Amerika Serikat (AS), akan menjadi pemimpin produsen gas dunia dengan produksi yang melimpah.
“Penggunaan kendaraan listrik di dunia juga akan mengubah pasar energi dunia karena makin banyak pembangkit listrik menggunakan gas,” kata Chairman The Sasaka Peace Foundation Nobuo Tanaka saat menjadi moderator diskusi bertema What Next for The Asia Pacific Gas Market di arena World Gas Conference (WGC) 2018, di Washington DC, Rabu (27/6).
WGC merupakan kegiatan 3 tahunan yang diselenggarakan oleh negara yang memegang tampuk kepemimpinan dalam International Gas Union.
WGC dihadiri oleh pemimpin berpengaruh bidang energi, pejabat eksekutif raksasa energi global, seperti Exxon Mobil Corp., BP Plc., Total, pejabat senior dari Departemen Luar Negeri AS dan biro energi, serta sejumlah menteri energi dari produsen dan konsumen migas seperti Argentina dan Indonesia.
Tanaka yang juga mantan Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) menambahkan China juga akan beralih ke energi yang lebih hijau, yaitu gas, dan mengurangi pemakaian batu bara sebagai sumber energi.
Prediksi atas pasar gas di China juga dikuatkan oleh Chairman of Board of Director Beijing Gas Group Li Yalan.
Dia mengatakan konsumsi gas di negara itu akan meningkat signifikan didorong oleh bertambahnya jaringan pipa, dari 70.000 km menjadi 100.000 km pada 2020.
Selain itu, China memiliki 18 terminal liquid natural gas (LNG) dengan kapasitas 60 juta meter kubik per tahun. “Dengan ekspansi dan pengembangan, 18 terminal itu akan memiliki kapasitas 80 juta ton pada 2020,” tuturnya.
Konsumsi gas yang terus meningkat itu sejalan dengan langkah China mengurangi konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik. Misalnya, satu PLTU skala besar yang memerlukan batu bara 35 juta ton per tahun menjadi hanya sepertujuhnya atau 5 juta ton.
Tahun lalu, IEA telah memprediksi penggunaan gas alam akan menyalip batu bara pada 2030 sebagai sumber energi kedua terbesar di dunia. Pada 2040, konsumsi gas diperkirakan menyamai penggunaan minyak sebagai sumber energi terbesar.
Saat ini, posisi gas bumi sebagai sumber energi berada di posisi ketiga dengan persentase 23,3%. Posisi gas bumi berada di bawah batu bara 27%, dan minyak sebesar 34%.
Secara jangka panjang, IEA menyatakan pasar gas global akan menghadapi tantangan dan persaingan biaya di pasar negara berkembang.
Di sisi lain, perselisihan dagang antara Amerika Serikat dan China dapat menggangu pasar energi global dalam jangka pendek. Beijing pada bulan ini mengajukan tarif balasan untuk impor petroleum dari AS. Hal itu diperkirakan dapat memukul industri migas AS.
CEO Chevron Mike Wirth khawatir tensi perdagangan dapat memukul permintaan komoditas energi. “Risiko perang dagang mulai membebani persepsi orang terhadap pertumbuhan ekonomi,” seperti dikutip Reuters, kemarin.
PELUANG INDONESIA
Diskusi pasar gas Asia Pasifik dalam ajang WGC juga menampilkan Menteri ESDM Ignasius Jonan sebagai pembicara utama. Adapun panelis lainnya, di antaranya EVP & CEO Upstream Petronas Anuar Taib dan Li Yalan.
Dalam paparannya, Jonan memprediksi bahwa penggunaan gas sebagai sumber energi primer semakin meningkat. Di Indonesia, peningkatan konsumsi gas diprediksi mencapai 6%—7% per tahun, atau di atas pertumbuhan ekonomi.
Namun, dia optimistis Indonesia tak harus menjadi importir gas pada masa depan menyusul ditemukannya sumur gas baru seperti di laut dalam Selat Makassar dan Blok Masela di Maluku.
Dua sumber gas baru tersebut akan mematahkan prediksi IEA bahwa Indonesia akan menjadi net importir gas pada 2040. Masela akan memproduksi gas 1,2 juta kaki kubik per hari dan IDD 1.000 kaki kubik per per hari.
Jonan menyatakan hal itu saat menjawab pertanyaan Tanaka. “Prediksi IEA tidak salah. Akan tetapi, prediksi itu dibuat sebelum penemuan gas Masela, Maluku, dan Selat Makassar,” papar Jonan.
Pada Blok Masela, Inpex dan Shell bertindak sebagai operator dan diperkirakan akan memulai produksi pada 2027. Adapun, proyek IDD dioperatori oleh Chevron.
Dalam data SKK Migas, Proyek IDD Gendalo dan Gehem yang dikelola oleh Chevron Makassar Ltd. bakal mulai beroperasi (on stream) pada 2024 dan 2025. IDD Gendalo diperkirakan memiliki produksi sekitar 500 juta kaki kubik per hari, sedangkan Gehem sebesar 420 juta kaki kubik per hari.
Dengan produksi gas harian 1,2 juta barrel setara minyak, hanya 60% yang digunakan untuk konsumsi domestik.
Plt. Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menilai pembangunan infrastruktur menjadi syarat utama untuk pengembangan gas bumi sebagai salah satu energi utama selain minyak dan batu bara. Nantinya, infrastruktur itu diperlukan untuk mengutilisasi gas alam cair lokal secara maksimal.
“Infrastruktur yang dibutuhkan antara lain, terminal LNG dan pipa gas. Hal itu bisa membuat harga gas domestik menjadi lebih kompetitif,” ujarnya.
Nicke mengatakan Pertamina akan semakin mendalami bisnis gas dari sisi infrastrukturnya, seperti LNG dan gas pipa. Holding BUMN Migas pun menjadi pendukung geliat perseroan untuk memperkuat infrastruktur gas.
“Infrastruktur gas memang harus diperkuat dengan rencana pengembangan industri. PGN dan PT Pertamina Gas bakal mengembangkan infrastruktur agar mendekatkan sumber gas dengan konsumen,” ujarnya.
Menurutnya, jarak antara sumber gas dengan konsumen yang kian dekat bisa menekan harga jual gas lebih kompetitif.
Pada masa mendatang, dia mengatakan perseroan menjalin koordinasi dengan konsumen gas utama seperti PT Perusahaan Listrik Negara. “Joint planning dilakukan agar jelas apa yang harus didukung.” (Dwi Nicken Tari/Surya Rianto)