Bisnis.com, JAKARTA - Peran korporasi menghormati hak penguasaan lahan dan hak asasi manusia sangat bergantung pada tata kelola pemerintah pusat maupun daerah.
Hal ini disampaikan Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariyadi Kartodihardjo pada salah satu diskusi dalam rangkaian Konferensi Tenurial 2017 di Jakarta, Kamis (26/10/2017).
Hariyadi mengatakan kewajiban perusahaan menghormati hak tenurial justru menelan biaya tinggi karena tata kelola pemerintahan yang buruk mulai dari perumusan peraturan, kinerja dan pelaksanaan aturan yang tidak transparan, hingga perizinan yang menjadi urusan personal.
Tata kelola pemerintahan yang buruk berakibat tidak adanya keterbukaan swasta terkait informasi bisnisnya. Akhirnya, tanggung jawab hak tenurial dan ham juga tidak jelas.
"Oleh karena itu, perbaikan tata kelola pemerintahan perlu menjadi rekomendasi dari pleno ini. Perbaikan ini meliputi perbaikan sistem perizinan. Akibat banyak suap dan peras itu, maka perusahaan sendiri menanam sawit di luar HGU nya," kata dia.
Komisaris utama PT Toba Pulp Lestari Tbk Ignatius Ari Djoko Purnomo mengatakan tata kelola pemerintahan yang baik akan menekan biaya-biaya yang sesungguhnya tidak perlu.
Misalnya dalam tumpang tinding kawasan hutan, perusahaan seringkali dibenturkan dengan masyarakat adat setempat. Pada kondisi tersebut semestinya negara bisa hadir menjadi penengah.
Namun dalam prakteknya, imbuh dia, kehadiran negara masih minim dalam konflik tenurial antara perusahaan dengan masyarakat. Negara belum hadir dalam penyelesaian konflik diantara keduanya.
Akibatnya, perusahaan harus turun tangan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait batas penguasaan lahan.
"Bila terjadi tumpang tindih, siapa yang memverifikasi dan memiliki otoritas untuk ini. Seringkali, [kehadiran negara] dirasakan tidak ada. Advokasi dan edukasi di lapangan dilakukan oleh perusahaan. Ini tentu memberikan cost sendiri," kata dia.
Perwakilan RSPO Indonesia Tiur Rumondang mengatakan jika mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, maka negara semestinya hadir dalam penyelesaian konflik sumber daya alam. Pasal tersebut mengamanatkan cabang produksi yang penting dikuasasi oleh negara seperti air dan kekayaan alam.
"Ketika terjadi benturan, negara harus hadir menjadi pihak penengah," imbuhnya.