Bisnis.com, PALEMBANG – Real Estate Indonesia atau REI DPD Sumatra Selatan meyakini kenaikan harga rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan berdampak pada daya beli golongan tersebut seiring adanya kebijakan yang mempermudah masyarakat.
Ketua DPD REI Sumsel Hariadi Begawan mengatakan pemerintah telah memberikan sejumlah kemudahan agar masyarakat bisa dapat memiliki rumah seperti bantuan down payment (DP) 1%, suku bunga 5% dan tenor sampai 20 tahun.
“Setiap tahun biasanya ada kenaikan harga rumah MBR 5%--10%, tetapi hal itu di sesuaikan dengan naiknya harga bahan bangunan dan upah buruh,” katanya, Kamis (4/8/2016).
Terhitung 1 Januari 2017, harga rumah murah bakal naik 5% sampai 6% yang mana rumah subsidi itu akan dipatok Rp123 juta dari harga sebelumnya Rp116 juta.
Selain itu, saat ini juga untuk perumahan FLPP tidak hanya Bank Tabungan Negara (BTN) saja yang melayani kredit pemilikan rumah (KPR), tetapi juga ada Bank Negara Indonesia(BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah dan Bank Sumsel Babel.
“Total realisasi REI sendiri saat ini sekitar 4.000 rumah yang telah terbangun atau sekitar 35% dari target 12.000 unit pada tahun ini,” katanya.
Pihaknya belum bisa menargetkan penjualan perumahan komersil, terutama melihat perekonomian yang belum membaik signifikan. “Karena kondisi pasar properti komersil cukup lesu, sehingga banyak developer beralih ke perumahan FLPP,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo membenarkan harga rumah subsidi 2017 ditetapkan di kisaran Rp123 juta.
Menurutnya, kenaikan harga rumah tak bisa dihindari, karena komponen yang mendorong harga rumah adalah inflasi dan kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK).
“Kenaikan harga disesuaikan dengan cost yang harus dikeluarkan pengembang ketika membangun rumah,” katanya.
Apersi juga mendukung rencanan pemerintah untuk membuka pintu kepada pelaku bisnis properti yang berasal dari Malaysia turut menggarap proyek perumahan yang diperuntukan bagi MBR tersebut.
“Sebenarnya tidak masalah bagi kita kalau asing ikut andil, sebab program sejuta rumah ini sulit untuk terpenuhi,” kata dia.
Namun, tentu harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Salah satunya, pihak asing tidak boleh memiliki tanah sehingga harus bekerjasama dengan badan usaha di dalam negeri.
“Infonya ada tiga perusahaan propert asal negeri jiran yang akan ikut menggarap proyek ini,” ujarnya.
Menurutnya, dengan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, pebisnis di sektor ini mengalami kesulitan untuk mencari lokasi dengan harga yang sesuai dan memasarkan hasil pembangunan yang telah direalisasikan.
“Kebanyakan harga lahan sudah tinggi, belum lagi daya beli masyarakat yang turun sehingga banyak developer yang mengerem,” pungkasnya.