Bisnis.com, JAKARTA—Komisi Pengawas Persaingan Usaha meminta Kementerian Perhubungan untuk membuat regulasi terkait pelepasan sistem tarif bawah pada taksi konvensional di Indonesia. Kebijakan itu dianggap akan menyehatkan persaingan usaha antara operator taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi online.
Regulasi tersebut harus secepatnya digarap oleh Kemenhub dan diinstruksikan ke pemerintah derah, dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf menyebutkan pengenaan tarif bawah pada taksi konvensional menyebabkan segmen taksi tersebut mati. Menurutnya, pemberlakuan tarif bawah membebani taksi konvensional karena mereka tidak akan pernah bisa berinovasi.
“Selama tarif bawah tidak dihilangkan, maka taksi konvensional tidak akan mampu bersaing dengan taksi aplikasi,” katanya di Jakarta, Rabu (23/3/2016).
Syarkawi menilai tarif bawah taksi konvensional di Indonesia masih cenderung tinggi bagi operator yang menerapkan tarif bawah, seperti Express, Taxiku, Gamya, Putra dan Primajasa.
Keputusan DPD Organda DKI yang tertuang dalam suran Nomor 512.DPD/ORG-DKI/1/2015 menyebutkan tarif batas bawah dirumuskan dengan tarif buka pintu Rp7.500, tarif per kilometer sebesar Rp4.000 dan tarif waktu tunggu Rp45.000 per jam.
Syarkawi menilai tingginya tarif bawah yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi celah masuknya taksi aplikasi seperti Uber dan Grab Car. Mereka masuk ke pangsa pasar taksi konvensional dengan tarif yang murah tanpa embel-embel tarif bawah.
“Tarif bawah ini gak sehat bagi persaingan usaha. Kalau begini taksi konvensional mana bisa bersaing di tengah pesatnya kemajuan teknologi,” ujarnya.
Seperti diketahui, taksi berbasis aplikasi online dikategorikan sebagai transportasi rental. Mereka tidak memiliki regulas tarif bawah dan tarif atas seperti yang berlaku pada taksi konvensional. Taksi aplikasi dapat menerapkan harga murah yang akhirnya mampu menjaring ceruk pasar yang dulunya dimiliki oleh taksi konvensional.
“Ini namanya creative destruction. Taksi online merusak pasar taksi konvensional melalui kreasi yang inovatif berbasis teknologi. Kemajuan teknologi udah gak bisa dibendung lagi. Jadi kuncinya ada di regulasi,” terangnya.
Pihaknya mempertanyakan dasar pemikiran Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang terus menerus memberlakukan tarif bawah. Baginya, penetapan tarif bawah tidak ada manfaatnya. Hal ini dinilai berbeda dengan penetapan tarif atas yang memang harus dilakukan agar pengemudi tidak seenaknya mematok tarif ketika permintaan tinggi.
“Sebenarnya tarif bawah itu untuk melindungi siapa sih,” ungkapnya.
KPPU, lanjut dia, telah memberikan rekomendasi untuk menghapus tarif bawah pada Kemenhub sejak dua tahun yang lalu. Masukan ini juga telah disampaikan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Usulan dari KPPU disambut baik oleh sejumlah operator taksi konvensional.
Bahkan, beberapa di antaranya telah berkirim surat ke Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama agar menjalankan rekomendasi KPPU. Namun hasilnya nihil.
Selain itu, dari sisi pelayanan dan kenyaman, taksi konvensional juga ketinggalan jauh dari taksi aplikasi dalam jaringan. Pasalnya taksi konvensional berbadan hukum baru bisa dilakukan peremajaan setelah lima tahun berperasi.
Padahal, taksi online bisa dilakukan peremajaan kapan saja mengingat pengemudinya mayoritas adalah pemilik dari armada mobil tersebut.
Aturan peremajaan taksi konvensional yang diatur oleh Kementerian Keuangan ini seharusnya bisa dipangkas dari lima tahun menjadi dua atau tiga tahun. Dengan begitu, taksi konvensional dapat bersaing sehat dalam sisi kenyamanan bagi penumpang.