Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aturan Label Makanan Olahan Tinggi Gula, Garam, Lemak Ditunda 2 Tahun

Pemerintah menunda penerapan label makanan tinggi gula, garam, lemak pada 2028.
Pengunjung melihat produk di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (15/7/2025). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pengunjung melihat produk di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (15/7/2025). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah disebut memberikan waktu selama 2 tahun kepada industri makanan dan minuman untuk mematuhi aturan baru mengenai label pada produk olahan yang memiliki kadar gula, garam, dan lemak (GGL) yang tinggi. 

Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan No 17/2023 yang salah satunya mengatur pengendalian penyakit tidak menular (PTM), seperti obesitas, diabetes dan lainnya yang disebabkan pangan olahan atau makanan dan minuman siap saji dengan kadar GGL tinggi. 

Hal ini dilakukan sebagai langkah lanjutan pemerintah dalam menekan angka obesitas yang terus meningkat. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan kasus obesitas di Indonesia meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir hingga 2023. 

Dikutip dari Reuters, Kamis (28/8/2024), masa tenggang 2 tahun tersebut diberikan setelah adanya lobi dari Amerika Serikat (AS), asosiasi industri pangan regional Food Industry Asia, dan produsen dalam negeri. 

Para pelaku usaha tersebut meminta pemerintah Indonesia mempertimbangkan kembali waktu penerapan aturan tersebut. Dalam konteks ini, AS menjadi salah satu negara yang mempertanyakan kebijakan tersebut melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

“Kami sudah menjelaskan kepada WTO bahwa langkah kami dimulai dari edukasi terlebih dahulu. Dua tahun ke depan baru pembatasan diberlakukan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi dalam laporan Reuters

Menurut rencana, aturan pelabelan menggunakan sistem warna ‘lampu lalu lintas’, misalnya label merah untuk produk tinggi gula, garam, atau lemak, dan label hijau untuk yang rendah. 

Mulai akhir 2025, perusahaan boleh lebih dulu menggunakan stiker atau deklarasi sendiri, sebelum aturan wajib berlaku pada dua tahun berikutnya.

Untuk diketahui, lebih dari 40 negara, termasuk Singapura, telah memakai sistem serupa. Namun, kebijakan ini kerap mendapat penolakan dari pelaku industri yang menilai informasi nutrisi sudah tercantum di kemasan.

Di Indonesia, Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) nantinya akan memverifikasi label dengan isi produk melalui laboratorium pemerintah untuk memastikan akurasi. 

“Kami bekerja sama dengan perusahaan, tapi memang sulit mengubah kebiasaan masyarakat,” imbuhnya.

Di sisi lain, dokumen WTO yang diperoleh Reuters menunjukkan produsen makanan AS khawatir aturan ini akan berdampak signifikan pada ekspor produk mereka ke Indonesia, yang nilainya sekitar US$54 juta dolar AS per tahun.

Selain pengusaha AS, industri makanan dalam negeri juga ikut meminta penundaan. Akibat tekanan dari berbagai pihak, aturan pelabelan ini kerap tidak masuk daftar prioritas legislasi pemerintah.

Namun, pakar kesehatan masyarakat yang juga bagian dari CISDI, Diah Saminarsih menilai langkah ini penting untuk melindungi masyarakat. 

“Industri memang selalu memberikan tekanan, tapi semakin banyak orang Indonesia jatuh sakit karena penyakit tidak menular seperti kanker dan diabetes akibat pola makan tidak sehat,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro