Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah dinilai perlu waspada terhadap rupiah yang menunjukkan penguatan sejak awal tahun karena faktor eksternal yang memburuk.
Eko Listianto, Ekonom Development of Economist and Finance (Indef), mengatakan faktor domestik secara fundamental belum terjadi banyak perubahan kecuali dalam indikator jangka pendek seperti inflasi yang terkendali, cadangan devisa yang naik, dan ekspor yang surplus. Sementara, sektor riil seperti industri pertumbuhannya masih tertekan.
Bank Indonesia melaporkan rupiah pada Jumat (18/3) ditutup menguat pada level Rp13.048 per US$1. Indikator internal yang belum begitu terakselerasi sehingga rupiah menguat hanya didorong oleh faktor eksternal seperti harga minyak, ekonomi Amerika Serikat dan China yang belum pulih, suku bunga acuan negatif di Jepang dan krisis eropa.
Kondisi eksternal itu membuat banyak aliran dana asing yang masuk ke Indonesia. BI mencatatkan dana asing yang masuk ke Indonesia telah mencapai Rp46 triliun dari 1 Januari 2016 sampai 17 Maret 2016. Jumlah tersebut lebih tinggi Rp2 triliun dari periode yang sama tahun lalu.
"Kemudian ini dana-dana jangka pendek yang sebetulnya sangat rentan sekali untuk keluar. Tapi karena suku bunga kita masih menarik untuk investasi mereka masuk. Tapi sebetulnya secara fundamental ekonomi ini bisa jadi pisau bermata dua," jelasnya.
Sementara itu, sektor riil seperti industri sangat rentan dalam kerugian yang akan dialami jika sewaktu-waktu dana asing itu keluar sehingga membuat rupiah melemah. Industri akan membutuhkan penyesuaian karena harus menghitung ulang asumsi nilai tukar rupiah dan makroekonomi agar target laba tidak terganggu.
Penguatan rupiah yang cepat dapat juga memukul ekspor. Keputusan BI untuk menurunkan suku bunga acuannya menjadi 6,75% dinilai tepat untuk meredam potensi ekspor yang tertekan. Dia mencermati risiko makro dari penguatan rupiah berada di fiskal.
"Saya melihat risiko dari makro adanya di fiskal. Kalau rupiah menguat, kebijakan fiskal lemah, bisa tidak optimal perekonomian," ucapnya.