Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menyatakan pemerintah mesti tetap waspada dengan kondisi pasar keuangan global, terutama perlambatan ekonomi di China dan pemulihan di Amerika Serikat.
Perlambatan ekonomi di China belum menunjukkan gairah perbaikan sehingga devaluasi masih bisa terjadi di Negeri Panda itu. Selain itu, The Fed yang masih belum memberikan kepastian adanya kenaikan Fed Fund Rate juga menjadi sorotan.
Sejauh ini kita perkirakan paling banyak melakukan dua kali kenaikan [The Fed], atau malah sama sekali enggak menaikkan. Ini yang mendorong dana masuk lagi, katanya, di Jakarta, Senin (7/3/2016).
Posisi utang luar negeri masih aman karena pemerintah memerlukan pembiayaan dalam rangka pembangunan infrastruktur yang telah dimulai sejak awal tahun.
"Selama ekonomi kita tumbuh meningkat, utang nambah sedikit enggak masalah. China utang meningkat, tapi pertumbuhannya melambat. Itu yang paling bahaya," ucapnya.
David menambahkan sepanjang Februari 2016 suplai dolar AS cukup sehingga BI tidak melakukan intervensi di pasar. Ekonomi domestik juga mulai membaik dengan menguatnya rupiah yang hampir mendekati level Rp12.000/US$1.
Pada Senin (7/3/2016), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatatkan rupiah ditutup sebesar Rp13.029/US$1. "Ekonomi membaik dengan rupiah yang menguat, tapi perlu diwaspadai rupiah yang menguat drastis dan terlalu cepat juga enggak bagus terutama buat ekspor," ujarnya.
Dia mencermati penguatan rupiah akhir-akhir ini didorong oleh masuknya dana ke portofolio. Menurutnya, dana yang masuk seharusnya berasal dari dana hasil ekspor dan investasi langsung luar negeri sehingga berkelanjutan untuk jangka panjang.
Sebelumnya, BI juga melaporkan dana asing yang masuk ke Indonesia hingga pekan keempat Februari 2016 mencapai Rp35 triliun ke surat berharga negara dan pasar modal turut membuat rupiah terapresiasi sekitar 3%.