Bisnis.com, JAKARTA - Teror di kawasan bisnis Jl. MH Thamrin, Jakarta, pekan lalu sempat membuat pelaku usaha dan investor, serta masyarakat secara luas, terhenyak untuk beberapa saat. Meski tidak sampai menggoyang perekonomian, serangan itu praktis telah mengoreksi ekspektasi stabilitas keamanan, yang dengan sendirinya menurunkan ekspektasi stabilitas makro.
Untuk menakar risiko tersebut, Bisnis.com mewawancarai Dradjad H. Wibowo, satu dari sangat sedikit ekonom kawasan yang memiliki akses langsung terhadap informasi intelijen, sehubungan dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan - Badan Intelijen Negara. Berikut petikannya.
Apa assessment Anda akan pengaruh teror pekan lalu terhadap stabilitas makro?
Kalau saya melihat, dampaknya agak minimal. Saya lebih khawatir dengan pasar global ketimbang Bom Sarinah kemarin. Kenapa minimal? Pertama, teror ini tidak sedahsyat sebelum-sebelumnya yang pernah kita alami, apalagi dibandingkan dengan Bom Bali dan Bom Marriot.
Kedua, sebenarnya aparat keamanan, baik Kepolisian, kemudian TNI dan BIN sudah punya informasi kalau memang bakal ada serangan. Cuma kan yang namanya teror itu kan susah juga diprediksi di mana dan kapan, kecuali kami bisa melakukan infiltrasi. Tapi untuk kelompok radikal yang sifatnya ideologis seperti ini, susah infiltrasinya. Lebih mudah mafia, karena motifnya uang. Mafia saja yang masih takut mati, sudah susah infiltrasi.
Sementara itu, kalau ideologis seperti ini, untuk menginfiltrasinya ini jauh lebih rumit. Karena mereka punya pandangan jika kalau mereka mati karena membunuh orang, mereka masuk surga. Sehingga memang, tentu ada teknik-teknik infiltrasi dan menggunakan perkembangan teknologi. Ini ada. Bahkan, AS dan Prancis yang jauh lebih canggih dibandingkan kita saja tidak bisa mencegah.
Artinya apa? Artinya, Investor dan pelaku pasar sudah tahu Indonesia berisiko, sudah tahu kalau tinggal masalah waktu saja kapan ini terjadi. Dan mereka memang sudah memasukkan risiko ini dalam risk-assessment. Lalu yang menjadi tolok ukurnya, seberapa besar dan seberapa cepat dan tepat aparat keamanan menangani ini. Sebab kalau berlarut-larut, maka ini merusak konfidensi.
Tetapi kalau cepat dan segera diatasi, maka konfidensi akan pulih segera. Kalau kita lihat kemarin, dari sisi jenis terornya, kan kemarin itu lebih beragam, tidak hanya bom bunuh diri, tapi juga serangan langsung. Dari sisi dampak dan kecepatan aparat mengatasi, itu relatif cepat dan dampak kecil. Dalam 4 jam penanganan aparat, Jakarta sudah bersih. Bandingkan dengan Paris, Prancis, itu kan lama sekali. Bahkan, sampai sekarang kondisi darurat belum dicabut di Paris. Artinya, kita relatif lebih bagus menangani.
Pelaku usaha dan investor melihat kalau Indonesia sudah cukup siap. Mereka tidak mengharapkan zero-attack (tidak ada serangan). Zero-attack ini tidak mungkin, maka itu sudah masuk ke assessment mereka. Saya yakin betul dan saya memang sudah berbicara dengan sejumlah orang, tidak ada yang bilang kalau di sini akan zero-attack. Tapi bisa diatasi cepat. Intinya di kecepatan dan bagaimana aparat bisa membongkar jaringannya. Kelihatannya, jaringan in relatif lebih terbongkar, ini memberi konfidensi. Namun tidak berarti kita bisa santai, karena bukan tidak mungkin ada sasaran-sasaran baru. Jangan lupa, dari yang sudah terpantau, itu masih banyak yang belum bergerak.
Banyak yang belum bergerak?
Artinya, kalau dalam satu kelompok itu sudah ada yang bergerak, dan kemudian dianggap sebagai pahlawan, maka yang lain akan tergoda. "Teman-teman saya sudah melakukan nih, sudah lulus." Yang lain juga ingin mencapai tahap itu. Yang harus diwaspadai oleh masayrakat dan pelaku bisnis atau investor, bahwa kelompok ini ada beberapa puluh orang, ditambah lagi yang sudah keluar penjara, mantan napi ada sekitar 423 orang. Ditambah lagi yang baru pulang dari Suriah.
Jadi kalau ada satu-dua yang melakukan, yang lain tergoda. Risiko serangan teror masih ada, dan seberapa besar pun dibongkar, masih akan tetap ada. Kecuali bisa mencabut sampai ke akar-akarnya, yaitu ideologi yang ekstrem ini.
Cuma, dengan kondisi dunia seperti ini, ya akan selalu ada yang berideologi seperti itu. Maka, kesempatan mereka untuk melakukan serangan itu yang harus dikunci. Dari sisi bisnis, hitungan ekonomi, ini adalah risiko yang harus diperhitungkan.
Apakah transformasi teror yang mulai meninggalkan simbol telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor? Bagaimana dalam jangka menengah?
Selama persoalan Timteng tidak beres, akan tetap ada. Ini akar persoalannya, saya melihat itu kembali ke persoalan Palestina dan Israel. Sudah 60 tahun lebih. Selama ada ketidakadilan seperti itu, maka ketidakpuasan global yang sifatnya sektarian, selalu akan ada sekelompok kecil yang menganggap tidak punya pilihan lain kecuali teror.
Jadi dulu ada kesan, stereotype penampilan fisik tertentu akan terkait ekstrimisme. Ada kesan berjenggot, celana cingkrang--saya juga besar di lingkungan masjid. Tapi kalau melihat teror sekarang, kita juga melihat di Eropa, ciri-ciri fisik sudah tidak menjadi dominan. Bahkan, saya melihat ada kecenderungan untuk mengaburkan ciri fisik itu. Sehingga memudahkan untuk berbaur di tengah-tengah masyarakat. Karena memang, orang dengan ciri fisik tertentu, masyarakat langsung mengenali. Buktinya, sekarang tetangga pelaku teror juga kaget. Saya rasa ciri fisik tidak lagi relevan.
Bagaimana dengan pergerakan 200an WNI yang berangkat ke Suriah? Apakah sudah ada yang kembali dan memengaruhi peta kelompok ini?
Sudah ada yang kembali, sekitar 100 orang. Angka ini memang masih simpang-siur, sudah banyak yang dideportasi oleh Pemerintah Turki. Dan itu selalu dikoordinasikan, Kementerian Luar Negeri Turki dan Kementerian Luar Negeri RI, lalu BIN Turki dengan BIN RI selalu sharing informasi siapa saja, nama dan identitas lain. Tapi memang perbatasan Turki dan Suriah itu sangat luas, perbatasannya saja 800-900 km darat. Mau bagaimana mengawasi perbatasan sepanjang itu, yang panjangnya hampir sama dengan panjang Pulau Jawa? Berapa tentara mau ditaruh di situ?
Memang ini berat. Salah satunya bisa pengawasan teknologi. Hanya saja, semakin canggih teknologi, juga semakin canggih penghindarannya. Jadi saya rasa teror akan selalu ada. Masih bagus di Indonesia, warga tidak bisa sembarangan memiliki senapan. Coba kalau di AS. Saya tidak terbayang itu. Kalau menghilangkan teror sampai nol, prinsipnya sama seperti kejahatan, sangat susah. Dunia ini selalu ada baik dan buruk. Itulah dunia. Tetapi, negara punya kewajiban untuk meminimalkan peluang bagi terjadinya serangan.
Itu bisa dipantau, misalnya untuk membuat bom kan selalu ada bahan baku. Itu bahan-bahan kuncinya dimonitor terus. Lalu untuk senjata, dimonitor pergerakannya dari mana diperoleh. Jadi meminimalkan peluang serangan.
Bagaimana assessment Anda terhadap melonggarnya migrasi tenaga kerja di ASEAN terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN? Apakah menambah risiko teror?
MEA itu salah satu faktor yang bisa meningkatkan risiko terorisme. Itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Buktinya, di Eropa. Ketika orang bergerak bebas, maka lebih susah kan untuk mendeteksi dan mengawasi terorisme dan pengungsi. Sampai ada negara yang menutup perbatasan daratnya.
Jadi dengan MEA, risiko meningkat. Tapi itu bukan hanya untuk RI. Singapura juga. Malah sebenarnya yang paling deg-degan itu mestinya Singapura. Karena Singapura itu sasaran yang paling seksi. Semua yang jadi musuh ada di Singapura. Mereka harus lebih waspada. Kalau misalnya ada orang radikal di RI, lalu menyamar sebagai tenaga kerja, kan kita tidak tahu. Jadi, ya risiko memang meningkat untuk semua negara.
Bagaimana dengan deradikalisasi? Adakah yang berubah secara signifikan dari era 2000-an dengan saat ini?
Deradikalisasi itu penting dan harus terus dilakukan. Tapi, saya tidak yakin itu menyelesaikan masalah. Itu memang bahasa yang bagus untuk filosofi dan diskusi ideologi. Karena ketika diimplementasikan, itu susah. Sebabnya, ketika seseorang sudah meyakini sesuatu, tidak cukup hanya diceramahi maka akan berubah. Harus ada sebuah proses spiritual tersendiri yang membuat dia berubah.
Jadi, ketika satu pandangan sudah mengakar di hati seseorang, itu tidak cukup ceramah beberapa kali. Deradikalisasi yang paling berpeluang untuk berhasil itu one on one, ketika seorang petugas atau agen deradikalisasi bertemu dengan seorang radikal, dan kemudian melakukan penggalangan untuk mengubah orang itu secara perlahan. Petugas ini kan tidak banyak. Dan kita lihat di kehidupan kampus, harus ada perubahan spiritual sendiri yang membuat dia seperti itu.
Sehingga, deradikalisasi itu, saya sendiri agak tidak terlalu menaruh harapan besar karena susahnya minta ampun ketika seorang sudah radikal lalu dideradikalisasi. Meski ini harus terus dilakukan. Yang paling penting dan bisa efektif, adalah deterrence atau menangkal radikalisasi. Jadi saya lebih memandang pencegahan radikalisasi lebih bisa dibadingkan deradikalisasi. Ini prinsip ilmu kedokteran biasa, yakni mencegah lebih baik dibanding mengobati.
Contohnya, pencegahan itu materi-materi radikal harus bisa dideteksi dan dibuang. Materi tercetak maupun via internet. Lalu akses ke materi radikal harus dibatasi dan diblokir. Karena, radikalisasi tidak hanya terjadi di tempat ibadah. Radikalisasi bisa terjadi di kamar masing-masing. Seperti anak-anak gadis di London yang terbang ke Suriah, kan via internet. Jadi aksesnya diblokir. Ketiga, agen-agen, orang per orang radikal yang harus dimonitor, karena melakukan pertemuan-pertemuan darat. Agen-agen ini harus dibatasi pergerakannya. Ini bicara saja gampang, tapi melakukannya susah.
Pewawancara: Arys Aditya