Bisnis.com, JAKARTA-- Paket Kebijakan Ekonomi tahap V yang direncanakan akan diumumkan pada Kamis (22/10) pukul 17.00 WIB mencakup aturan tentang revaluasi aset BUMN.
Seusai menandatangani nota kesepahaman dengan delegasi Denmark, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli menuturkan paket kebijakan V berisi ide lama yang pernah dia tempuh saat menjabat Menteri Koordinator bidang Perekonomian pada kepemimpinan Presiden RI Ke-4 Abdurahman Wahid.
"Itu ide lama yang pernah saya lakukan, revaluasi aset," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (22/10).
Rizal menuturkan pada 2000, PLN diminta untuk melakukan revaluasi aset. Saat itu, BUMN kelistrikan tersebut nyaris bangkrut lantaran modal perusahaan tercatat minus Rp9 triliun dan aset sebesar Rp50 triliun.
"Mereka [PLN] minta uang dari negara, saya enggak mau. Saya minta laporan revaluasi aset, sehingga asetnya naik dari Rp50 triliun ke Rp200 triliun lebih. Kemudian sebagian saya masukan modal, dari minus Rp9 triliun, jadi Rp104 triliun," tuturnya.
Menurut Rizal, langkah revaluasi aset tersebut merupakan terobosan. Pasalnya, dalam sejarah BUMN, belum pernah sebuah perusahan plat merah diselamatkan tanpa suntikan uang negara.
Selain menyelamatkan BUMN dari kebangkrutan, lanjut Rizal, revaluasi aset juga berpotensi menambah penerimaan pajak dari selisih revaluasi.
"BUMN harus bayar pajak 30% dari selisih revaluasi. Artinya, 30% dari Rp150 triliun, itu Rp50 triliun. Sehingga walaupun dicicil dalam 7 tahun, negara punya sumber penerimaan pajak baru di luar yang biasa," imbuhnya.
Rizal menambahkan terobosan-terobosan tersebut perlu dilakukan dalam jumlah besar supaya ekonomi Indonesia bisa lebih cepat bangkit. "Tidak bisa dengan cara-cara tradisional," pungkasnya.
Dalam rapat koordinasi dengan jajaran direktur BUMN, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung masalah revaluasi aset untuk membuat perusahaan plat merah di Tanah Air menjadi besar, lincah, dan kuat.
"Saya ingin agar BUMN-BUMN kita menjadi besar entah lewat revaluasi aset dan lain-lain, itu saya kira urusan menteri," pungkasnya.
Jokowi tidak ingin BUMN yang neraca keuangannya minus atau mencatat rugi terus menerus disuntik oleh negara, namun tidak menghasilkan berkontribusi besar bagi pembangunan nasional.