Di Tengah Efisiensi
Kabinet Prabowo memang terkenal gemuk. Saat 20 Oktober 2024 malam, ketika dia pertama kali mengumumkan kabinetnya, jumlahnya mencapai 50 lebih kementerian/lembaga.
Setiap kementerian teknis memiliki menteri dan wakil menteri. Beberapa kementerian bahkan memiliki tiga orang wakil menteri seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian BUMN.
Belum lagi ada pembentukan badan baru seperti di antaranya Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus, Badan Penyelenggara Jaminan Halal dan Badan Penyelenggara Haji, yang merupakan pemisahan dari Kementerian Agama.
Di tengah ingar bingar institusi baru itu, Prabowo juga menggalakkan efisiensi belanja pemerintah. Hal itu pertama kali dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, Inpres pertama yang dikeluarkannya sebagai Kepala Negara.
Pada Inpres tersebut, efisiensi anggaran belanja negara tahun 2025 diatur sebesar Rp306,6 triliun yang terdiri dari Rp256,1 triliun belanja pemerintah pusat dan Rp50,59 triliun transfer ke daerah.
Efisiensi itu sejalan dengan peluncuran program unggulan pemerintahan Prabowo, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Baca Juga
Masuk semester II/2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lalu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Beleid ini menjadi pedoman teknis untuk melanjutkan kebijakan efisiensi Presiden Prabowo Subianto.
Meski demikian, PMK No.56/2025 tidak menuliskan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025.
Kalau merujuk beleid baru itu, item barang maupun jasa yang menjadi sasaran efisiensi anggaran antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.
Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.
Kepala Biro Layanan Komunikasi dan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro menjelaskan bahwa 15 item belanja yang tercantum dalam PMK No.56/2025 merupakan item belanja yang termasuk dalam kategori belanja barang dan modal.
Sementara itu, item belanja lainnya yang tercantum dalam S-37 menjadi target identifikasi rencana efisiensi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga sebagaimana diatur juga dalam ketentuan yang sama pada Pasal 3 ayat (3) dan ayat (5).
"Di mana dibuka ruang untuk pemenuhan target efisiensi dari jenis belanja lain sesuai dengan arahan Presiden," imbuh Deni.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga merespons singkat. Dia juga enggan menjelaskan lebih terperinci efisiensi APBN yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah pelaksanaan pertama di awal tahun ini.
Namun demikian, Suahasil menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga.
"Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan," tuturnya di Istana Kepresidenan.
Sejumlah pihak menilai bahwa dampak efisiensi belanja negara yang turut menyasar ke anggaran transfer ke daerah (TKD) itu turut memicu para kepala daerah menaikkan sejumlah pajak daerah. Kasus di Pati, misalnya, di mana Bupati Sudewo didemo publik karena ingin menaikkan PBB-P2 hingga 250%.