Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Filipina Setop Impor Beras Mulai 1 September untuk Lindungi Petani

Filipina menghentikan impor beras mulai 1 September 2025 selama 60 hari untuk melindungi petani lokal dari harga gabah yang anjlok di tengah musim panen.
Petani menjemur gabah hasil panen di Majalengka, Jawa Barat, Sabtu (5/4/2024). Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras mulai 3 April 2024 hingga 30 Juni 2024 dengan rincian HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang sebelumnya Rp5.000 per kilogram naik menjadi Rp6.000 per kilogram - JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani.
Petani menjemur gabah hasil panen di Majalengka, Jawa Barat, Sabtu (5/4/2024). Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras mulai 3 April 2024 hingga 30 Juni 2024 dengan rincian HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang sebelumnya Rp5.000 per kilogram naik menjadi Rp6.000 per kilogram - JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani.

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Filipina akan menghentikan impor beras secara keseluruhan mulai 1 September 2025 selama 60 hari ke depan.

Sekretaris Komunikasi Kepresidenan Dave Gomez mengatakan Presiden Ferdinand Marcos Jr. memerintahkan langsung penghentian impor beras selama 60 hari ini sebagai langkah untuk melindungi petani lokal dari tekanan harga gabah yang anjlok di tengah musim panen.

Keputusan itu diambil setelah Presiden Marcos berkonsultasi dengan anggota Kabinetnya dalam pertemuan di sela-sela kunjungan kenegaraan lima hari ke India.

"Presiden mengeluarkan arahan tersebut setelah berkonsultasi dengan anggota Kabinet di sela-sela kunjungan kenegaraan selama 5 hari di India, dan atas rekomendasi Menteri Pertanian Francisco Tui-Laurel Jr," ungkap Gomez seperti dilansir Inquirer, Rabu (6/8/2025).

Sebelumnya, Kementerian Pertanian Filipina secara resmi telah merekomendasikan penghentian sementara impor beras dan menaikkan tarif masuk guna melindungi petani lokal dari tekanan harga yang kian menurun.

Melansir Bloomberg, rencana tersebut mencuat saat harga beras global anjlok ke level terendah dalam delapan tahun terakhir, didorong oleh perbaikan panen di sejumlah negara produsen utama.

Penurunan harga ini memang membuat inflasi pangan melandai, tetapi menjadi pemicu protes di kalangan petani, termasuk di Thailand yang menjadi salah satu eksportir utama dunia.

Filipina sendiri kini menyandang predikat sebagai importir beras terbesar dunia, dengan volume pembelian yang melonjak lebih dari tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Pemerintah Amerika Serikat memperkirakan Filipina akan membeli 5,4 juta ton beras pada musim 2025–2026. Hanya dalam paruh pertama 2025, negeri ini telah mengimpor 2 juta ton, menurut data Asisten Sekretaris Arnel de Mesa.

Menteri Pertanian Francisco Tui Laurel Jr. sebelumnya mengusulkan pembatasan kuota impor tahunan hingga kurang dari 20% dari volume saat ini. Ia menilai dominasi beras impor telah menekan petani lokal dan bahkan mengancam keberlangsungan penggilingan padi nasional.

Meski beras impor murah menurunkan harga di pasar, efek sampingnya kini dirasakan para petani: harga gabah di beberapa wilayah jatuh jauh di bawah biaya produksi, menciptakan krisis yang semakin meluas di pedesaan.

Selain usulan pembatasan kuota impor, Laurel juga mengusulkan kenaikan tarif impor beras sebagai solusi menahan derasnya arus masuk beras asing dan sekaligus mendongkrak pendapatan negara guna memperkuat dukungan terhadap sektor pertanian.

“Kita dihadapkan pada dilema yang kompleks: antara kewajiban melindungi petani dari permainan harga yang merugikan, dan memastikan rakyat tetap dapat membeli beras dengan harga yang terjangkau,” kata Laurel dalam keterangan resminya.

Ia menilai bahwa tarif 15% saat ini sudah tak lagi memadai. Kenaikan secara bertahap ke 25% lalu ke 35% menurutnya akan lebih bijak, agar tidak menimbulkan gejolak dalam rantai pasok dan harga konsumen. Namun, ia menegaskan keputusan akhir berada di tangan Presiden Marcos.

Pada Juli 2024, Presiden Marcos telah memangkas tarif impor dari 35% menjadi 15% sebagai respons atas melonjaknya harga global. Kebijakan tersebut, ditambah dengan intervensi harga eceran tertinggi (HET), berhasil menstabilkan harga domestik. Tarif impor yang lebih rendah ini dijadwalkan berlaku hingga 2028.

Namun, harga murah ini datang dengan konsekuensi. Ketika petani lokal kesulitan menjual hasil panen dengan harga wajar, kebutuhan untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap produsen dan akses masyarakat terhadap pangan murah semakin mendesak.

Produksi padi nasional tetap menunjukkan tren positif, dengan panen 9,08 juta ton tercatat pada semester pertama 2025. Pemerintah menargetkan total produksi mencapai rekor 20,46 juta ton hingga akhir tahun ini—sebuah pencapaian yang akan sia-sia jika petani tetap tak memperoleh harga yang layak.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro