Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia alias Apindo mendorong pemerintah untuk kembali memberikan insentif fiskal bagi sektor industri padat karya. Dorongan itu muncul di tengah tekanan ekonomi global akibat kebijakan dagang AS yang dinilai semakin menekan daya saing industri dalam negeri, terutama padat karya seperti tekstil.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan pihaknya telah menyampaikan aspirasi tersebut kepada pemerintah. Saat ini, sambungnya, pelaku usaha tengah menjajaki komunikasi intensif untuk menyusun usulan insentif yang lebih konkret.
“Kami memang ada permohonan untuk beberapa insentif fiskal, terutama untuk industri padat karya yang saat ini sangat tertekan,” ujar Shinta saat ditemui usai Peluncuran Taxpayers' Charter di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Selasa (22/7/2025).
Dia menyinggung keberhasilan pemerintah dalam menyalurkan stimulus fiskal selama pandemi Covid-19 yang terbukti mampu menopang pelaku usaha di masa krisis. Menurutnya, pendekatan serupa perlu dipertimbangkan ulang seiring meningkatnya tekanan eksternal terhadap sejumlah sektor strategis.
Lebih lanjut, Shinta mengungkapkan bahwa Apindo masih menghitung dampak lanjutan dari kebijakan dagang Amerika Serikat (AS), khususnya usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor 19% ke produk asal Indonesia.
Pihaknya masih menunggu pengumuman tarif baru AS untuk negara-negara sebelum berlaku penuh pada 1 Agustus 2025. Dengan begitu, dampaknya ke industri Indonesia terutama terkait daya saing dengan negara lain bisa dipastikan.
Baca Juga
“Ini semua hitung-hitungannya kan harus kita perhatikan, bagaimana itu berdampak kepada industrinya, dari situ baru kita minta lebih detail lagi mengenai insentif,” jelasnya.
Hingga kini, Apindo belum memerinci bentuk insentif yang dimaksud. Shinta hanya memastikan bahwa pembicaraan terus berprogres dan akan segera difinalisasi dalam waktu dekat.
Di lain pihak, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan akan ada penurunan daya beli masyarakat akibat Amerika Serikat mengenakan tarif impor 19% ke produk asal Indonesia.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman tidak menampik bahwa tarif 19% baru itu lebih rendah dari ancaman sebelumnya yang sebesar 32%. Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa Indonesia justru membebaskan tarif impor (0%) ke hampir semua barang asal AS.
Oleh sebab itu, Rizal meyakini kesepakatan perdagangan RI-AS terbaru itu tetap dampaknya secara negatif ke perekonomian Indonesia. Misalnya berdasarkan perhitungan dengan pendekatan model Global Trade Analysis Project (GTAP), didapati daya beli rumah tangga menjadi turun sebesar 0,091%.
"Penurunan ini mencerminkan apa? Melemahnya pendapatan dan naiknya harga konsumsi, yang menekan konsumsi riil," jelas Rizal dalam diskusi publik Indef secara daring, Senin (21/7/2025).
Dia melihat kebijakan tarif saat ini secara langsung merugikan kesejahteraan rumah tangga Indonesia sehingga perlu direspons dengan kebijakan kompensasi yang tetap sasaran.
Selain daya beli masyarakat, Rizal menghitung indikator makroekonomi lainnya juga berdampak negatif akibat kesepakatan dagang terbaru itu seperti penurunan penyerapan tenaga kerja (-0,064%), investasi (-0,061%), kapasitas fiskal (-0,122%), nilai ekspor (-0,197%), nilai impor (-0,251%), dan pertumbuhan ekonomi (-0,11%).
"Indonesia sangat rentan terhadap kebijakan unilateral mitra dagangnya dan memerlukan strategi kompensasi jangka pendek dan reformasi struktural jangka panjang," ujar Rizal.