Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Padat Karya Rontok, Pakar Proyeksi PHK Makin Masif

Gelombang PHK diperkirakan masih berlanjut di tengah lesunya aktivitas sektor-sektor padat karya di dalam negeri
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya diproyeksi makin masif beberapa bulan ke depan. Hal tersebut dipicu kondisi ekonomi global dan makro yang masih lesu. 

Jika merujuk data versi Apindo, korban PHK mencapai 73.992 pekerja pada periode 1 Januari–10 Maret 2025.  Angka tersebut merujuk pada data pekerja yang tidak lagi menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan pada periode tersebut. 

Kemudian, serikat pekerja mencatat setidaknya sudah ada sekitar 70.000 pekerja yang ter-PHK sepanjang Januari–April 2025. Sementara itu, Kemenaker yang mencatat angka berbeda melaporkan bahwa korban PHK mencapai 26.455 orang per 20 Mei 2025.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan bahwa masifnya gelombang PHK yang terjadi saat ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi global dan dalam negeri. Dia pun memprediksi bahwa PHK masih akan berlanjut. 

“Jangan heran kalau di bulan-bulan ke depan akan banyak industri padat karya lainnya yang akan melakukan PHK,” kata Agus dalam keterangan tertulis, Kamis (29/5/2025). 

Badai PHK belakangan banyak menerpa industri padat karya yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam proses produksinya, dibandingkan dengan penggunaan teknologi atau mesin, sehingga industri ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional. 

Industri padat karya sendiri mencakup manufaktur tekstil dan alas kaki, kemudian industri perkebunan termasuk industri hasil tembakau, perikanan kelautan, kerajinan, konstruksi, serta pariwisata dan perhotelan.

Menurut Agus, industri dalam negeri saat ini tidak banyak berkembang karena banyaknya regulasi-regulasi restriktif dan pungutan ilegal, terutama terkait perizinan. 

“Banyaknya pungutan ilegal membuat harga produksi menjadi lebih mahal. Ketika dijual untuk ekspor, produk Indonesia kalah bersaing dan hanya mengandalkan pasar dalam negeri,” tuturnya. 

Sementara dari sisi perlindungan pekerja, Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai bahwa pemerintah memiliki peran sentral untuk mengatasi PHK di industri padat karya. 

Sesuai dengan Pasal 151 Undang-Undang Cipta Kerja, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar PHK tidak terjadi.

Jika PHK tidak dapat dihindari, prosesnya harus dilakukan dengan transparansi dan melalui mekanisme penyelesaian yang telah ditetapkan.

“Seharusnya pemerintah pusat dan daerah rutin jemput bola ke perusahaan, untuk menanyakan apa yang menjadi hambatan,” tambah Timboel. 

Hal ini menjadi penting bagi pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan atau regulasi-regulasi yang justru mengancam keberlangsungan industri-industri padat karya. Selain itu, memonitor kebutuhan investor juga bisa menjadi langkah mitigasi pemerintah dalam hal PHK.

Fenomena PHK saat ini juga dikhawatirkan bakal mempengaruhi perekonomian dan konsumsi masyarakat, terlebih dengan kontrbusi konsumsi domestik yang mencapai 52% terhadap PDB.

“Kalau ada PHK, masyarakat tidak memiliki uang lagi untuk belanja, dan konsumsi masyarakat menurun. Hal itu juga membuat kontribusi ke investasi berkurang, karena daya beli melemah, karena barang yang diproduksi tidak laku,” tukas Timboel.

Kerawanan sosial dengan banyaknya pengangguran juga meningkatkan kriminalitas. Timboel menjelaskan bahwa Indonesia seharusnya belajar dari Amerika Serikat (AS), di mana isu PHK menjadi sangat krusial. 

“Tingkat pengangguran terbuka menjadi isu yang sangat sensitif, itu adalah warning bagi perekonomian di sana,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, terdapat sejumlah pabrikan yang tutup dan berhenti beroperasi beberapa bulan terakhir, seperti PT Sri Rejeki Isman atau PT Sritex yang mengumumkan PHK terhadap 10.660 karyawannya pada 26 Februari 2025.

Langkah PHK diambil setelah PT Sritex diputus pailit demi hukum, menyusul putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pada Putusan Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. 

Selain itu, dua perusahaan lainnya, PT Sanken Indonesia dan PT Yamaha Music, juga berencana menutup pabrik di Indonesia dan melakukan PHK terhadap ribuan karyawannya.

PT Sanken tutup karena permintaan perusahaan induknya di Jepang untuk fokus pada produksi semikonduktor. Sementara PT Yamaha Music mengalami penurunan produksi piano sehingga akan merelokasi pabriknya ke negara asalnya di Jepang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper