Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Alas Kaki Nusantara (Hipan) menilai kebijakan tarif yang dikenakan oleh Amerika Serikat (AS) sebesar 32% tidak sepenuhnya merugikan Indonesia. Sebab, banyak produk alas kaki yang diekspor ke AS merupakan brand-brand dari negara tersebut.
Ketua Umum Hipan David Chalik mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump ini justru makin menekan pengusaha dan tingkat konsumsi masyarakat AS. Dia mencontohkan beberapa brand seperti Nike, yang diproduksi di Indonesia, tetapi banyak dikonsumsi di AS sendiri.
Pengenaan tarif ini akan meningkatkan biaya importasi pengusaha AS dan memicu kenaikan harga jual kepada konsumen di negara tersebut, meski tak dipungkiri kondisi ini akan membuat permintaan ekspor dari Indonesia turun.
“Justru, dampak dari kebijakan tarif itu lebih besar terhadap barang-barang konsumsi mereka sendiri,” kata David kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).
Meski begitu, David menilai Indonesia tidak akan begitu terdampak dari kebijakan tersebut. Di samping itu, Indonesia justru disebut memiliki posisi strategis lantaran menjadi negara non-blok yang bermitra dengan AS maupun menjadi bagian dari BRICS.
“Jika ke depannya China mengambil langkah-langkah tertentu, Amerika kemungkinan besar akan mencari mitra baru seperti Indonesia. Negara seperti Vietnam dan Kamboja sering dianggap sebagai proksi China karena banyak pabrik China berdiri di sana,” tuturnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, David menerangkan, jika konflik dagang antara AS dan China memanas, Indonesia bisa diuntungkan. Indonesia disebut bisa menjadi alternatif lokasi produksi bagi perusahaan Amerika.
Namun di sisi lain, pasar domestik berisiko dibanjiri produk sepatu, pakaian, tas, hingga tekstil jadi dari China dengan harga yang sangat murah.
Untuk diketahui, impor produk alas kaki dari China ke Indonesia melonjak hingga 30,89% pada Januari hingga April 2025.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk alas kaki (HS 64) dari China tercatat mencapai US$199,4 juta pada Januari-April 2025 atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$152,36 juta.
“Ini yang bisa menekan industri dalam negeri karena barang lokal cenderung lebih mahal. Salah satu penyebabnya adalah kewajiban terhadap Standar Nasional Indonesia [SNI] dan tingkat komponen dalam negeri [TKDN],” ujarnya.
Sementara itu, dia menyebut, produk impor dari China tidak dibebani kewajiban SNI maupun TKDN dan hanya menanggung biaya pengiriman, sedangkan produsen lokal diwajibkan mengurus TKDN yang biayanya bisa mencapai puluhan juta rupiah hanya untuk satu model produk.
“Jika barang impor tidak dikenakan SNI, TKDN, atau bahkan ketentuan teknis lainnya seperti TBT [technical barriers to trade], maka idealnya produk lokal juga mendapat relaksasi serupa,” jelasnya.
Setidaknya, David menambahkan, kebijakan relaksasi itu dapat dilakukan selama masa perang dagang. Dengan memberikan relaksasi pada produk dalam negeri maka produk lokal bisa bersaing secara harga.
Pemerintah juga perlu mempermudah impor komponen yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Contohnya, industri alas kaki masih sangat tergantung pada material upper dari China, termasuk kulit sintetis, tekstil mesh, komponen outsole, kawat untuk tali sepatu, dan lain-lain.
“Komponen ini tidak diproduksi di Indonesia dan seharusnya diberikan kemudahan impor,” imbuhnya.
Di sisi lain, salah satu masalah utama yang tak kalah penting adalah permodalan. Menurut David, pemerintah sebaiknya memberikan insentif, misalnya bunga kredit rendah untuk pembelian mesin.
Namun, seringkali kebijakan pemerintah tidak direspons oleh bank. Misalnya, ketika pemerintah memberi subsidi bunga 2% per tahun, tapi bank enggan menyalurkan kredit dengan skema itu.
“Maka dari itu, perlu sinergi antara kebijakan pemerintah dan lembaga keuangan. Jika insentif benar-benar dilaksanakan, saya yakin industri dalam negeri bisa lebih kuat dan mampu bersaing di pasar global,” pungkasnya.