Ancaman Pengendalian Ekspor
Kekhawatiran lain bagi China adalah kemungkinan AS mendorong negara mitra lain untuk menerapkan kontrol ekspor yang lebih ketat atas peralatan teknologi tinggi. Langkah tersebut dapat semakin menghambat upaya China dalam memproduksi semikonduktor canggih.
Taiwan pada Juni lalu memasukkan Huawei Technologies Co. dan Semiconductor Manufacturing International Corp. ke dalam daftar entitas yang dilarang berbisnis tanpa persetujuan pemerintah.
Tekanan terhadap China tak hanya datang dari Asia. Eropa juga berada dalam posisi sulit. Uni Eropa saat ini merupakan tujuan ekspor kendaraan listrik terbesar China, dengan nilai investasi China ke UE dan Inggris mencapai €10 miliar pada 2024, menurut riset Rhodium Group.
Namun, tensi perdagangan meningkat. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen baru-baru ini menuduh Beijing memersenjatai logam tanah jarang dan magnet, serta memperingatkan dampak dari kelebihan kapasitas produksi China.
Beijing juga mencemaskan kemungkinan UE menyepakati klausul serupa seperti yang ada dalam perjanjian perdagangan Inggris-AS, yang mencakup komitmen tentang keamanan rantai pasok, pengendalian ekspor, dan aturan kepemilikan di sektor strategis seperti baja, aluminium, dan farmasi.
Baca Juga
Meski tidak menyebut China secara eksplisit, Beijing menanggapi kesepakatan itu dengan kritik publik yang jarang terjadi.
Joerg Wuttke, mitra di Albright Stonebridge Group sekaligus mantan Presiden Kamar Dagang UE di China menyebut, Negeri Tirai Bambu sangat khawatir jika Uni Eropa menyetujui bahasa yang sama seperti Inggris dalam hal pengendalian ekspor.
“China menekan UE agar tidak ikut, sementara AS menekan agar UE ikut,” katanya
Brussels dan Washington menargetkan tercapainya kesepakatan sebelum 9 Juli, ketika AS dijadwalkan mengenakan tarif sebesar 50% terhadap hampir semua produk UE. Dengan nilai ekspor Eropa ke AS dua kali lipat dari ekspor ke China, UE menilai Washington sebagai mitra yang lebih strategis.
Sementara itu, Hosuk Lee-Makiyama, Direktur European Centre for International Political Economy di Brussels mengatakan, pernyataan resmi dari China pada akhir pekan lalu jelas ditujukan langsung ke Brussels. Menurutnya, China sangat khawatir apa saja yang mungkin disepakati UE dengan AS.
Risiko jangka panjang bagi China adalah bahwa upaya-upaya ini berkembang menjadi pergeseran struktural—bukan hanya kampanye AS untuk membatasi ekspor China, melainkan restrukturisasi perdagangan global yang berfokus pada rantai pasok ‘tepercaya’, dengan China semakin tersisih.
Dalam kunjungan ke Asia Tenggara awal tahun ini, Presiden Xi Jinping menyerukan negara-negara kawasan untuk bersatu sebagai keluarga Asia dan mewaspadai fragmentasi perdagangan.
China memiliki sejarah membalas tindakan yang dianggap merugikan dengan sanksi dagang yang tertarget. Saat UE menerapkan tarif atas kendaraan listrik China tahun lalu, Beijing membalas dengan penyelidikan anti-dumping atas brandy, produk susu, dan babi dari Eropa.
Pada 2023, China juga menghentikan impor makanan laut dari Jepang setelah pertemuan G7 yang dianggap mengkritik Beijing. Ketegangan dengan Australia pada 2020 menyebabkan pembatasan ekspor miliaran dolar atas produk seperti lobster, anggur, dan jelai.
“Jika ada kesepakatan dagang yang secara eksplisit menyebut China sebagai target dan menunjukkan bahwa sejumlah negara berkoordinasi dengan AS untuk ‘membendung China’, maka China pasti akan merespons,” ujar Tu Xinquan, Dekan China Institute for WTO Studies, Universitas UIBE Beijing.