Bisnis.com, JAKARTA - China kini mewaspadai upaya Amerika Serikat (AS) menjalin kesepakatan dengan mitra dagang lainnya guna mengucilkan perusahaan-perusahaan China dari rantai pasok global.
Melansir Bloomberg pada Kamis (3/7/2025), manuver AS ini dilakukan di tengah gencatan senjata dagang antara Washington dan Beijing yang masih berlangsung.
Menjelang tenggat 9 Juli 2025, para pejabat AS tengah mempercepat negosiasi dengan sejumlah negara mitra di Asia dan Eropa. AS menekan untuk menyepakati perjanjian baru yang mencakup pembatasan kandungan asal China atau komitmen untuk melawan praktik perdagangan tidak adil yang ditudingkan Washington terhadap Beijing.
Dalam kesepakatan pertama yang diumumkan, mantan Presiden AS Donald Trump pada Rabu (2/7/2025) waktu setempat mengumumkan perjanjian tarif bertingkat dengan Vietnam.
Melalui unggahan di media sosial, Trump menyebut ekspor Vietnam ke AS akan dikenai tarif sebesar 20%, dan tarif 40% untuk barang yang dianggap berasal dari negara ketiga—terutama China—yang hanya dirakit ulang di Vietnam sebelum diekspor ke AS.
Model tarif ini mencerminkan ketentuan serupa dalam perjanjian dagang AS dengan Meksiko dan Kanada yang telah lebih dulu berlaku.
Baca Juga
India, negara lain yang disebut hampir mencapai kesepakatan, juga tengah merundingkan aturan asal barang (rules of origin). AS menginginkan setidaknya 60% nilai tambah produk berasal dari India agar dapat diakui sebagai buatan India dan menikmati fasilitas dagang. Namun, India disebut mengusulkan ambang batas yang lebih rendah, sekitar 35%.
Beijing, yang merupakan mitra dagang utama bagi sebagian besar negara Asia, telah memperingatkan bahwa akan ada konsekuensi jika kepentingan China terganggu. Menteri Luar Negeri Wang Yi dijadwalkan menyuarakan hal ini kembali dalam kunjungannya ke Eropa pekan ini, termasuk ke Brussels, Jerman, dan Prancis.
Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan resmi pada Sabtu (29/6/2025) pekan lalu dengan tegas menolak jika ada pihak yang mencapai kesepakatan dengan mengorbankan kepentingan China demi pengurangan tarif.
"Jika itu terjadi, China tidak akan tinggal diam dan akan mengambil tindakan balasan guna melindungi hak dan kepentingannya yang sah," demikian kutipan keterangan tersebut.
Trump sebelumnya memberikan jeda 90 hari untuk tarif timbal balik terhadap puluhan mitra dagang AS. Masa tenggang ini akan berakhir pada 9 Juli. Negara-negara yang belum mencapai kesepakatan dengan Washington berpotensi menghadapi lonjakan tarif secara signifikan.
Beberapa negara seperti Vietnam, Thailand, dan Korea Selatan sudah mengambil langkah pencegahan agar tidak dianggap sebagai jalur pengalihan ekspor China. Otoritas bea cukai Korea Selatan, misalnya, mengumumkan pengetatan pengawasan terhadap praktik transshipment.
Sementara itu, di Taiwan, Presiden Lai Ching-te memperkenalkan aturan baru yang mewajibkan semua ekspor ke AS mencantumkan pernyataan hukum bahwa barang tersebut diproduksi di Taiwan.
Alicia Garcia Herrero, Kepala Ekonom Asia Pasifik di Natixis SA menjelaskan, yang menjadi dilema negara-negara Asia dalam perang dagang Trump adalah ketergantungannya pada permintaan akhir dari AS, sembari mengandalkan komponen dari China dalam proses produksi.