Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih harap-harap cemas menanti keputusan akhir Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait dengan kebijakan tarif resiprokal yang rencananya bakal mulai diberlakukan pada 9 Juli mendatang.
Presiden Donald Trump sendiri menegaskan bahwa AS tidak akan mempertimbangkan penundaan tenggat waktu 9 Juli untuk pemberlakuan kembali tarif impor kepada negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
“Tidak, saya tidak memikirkan jeda itu. Saya akan mengirimkan surat ke banyak negara,” kata Trump dikutip dari Bloomberg pada Rabu (2/7/2025).
Lantas, bagaimana persiapan Indonesia menjelang pemberlakuan tarif resiprokal AS pada 9 Juli nanti?
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan proses negosiasi antara Indonesia dengan AS terkait dengan pengenaan tarif resiprokal masih berlangsung hingga saat ini.
Selain Indonesia, Budi mengatakan bahwa semua negara juga masih menunggu keputusan akhir dari pengenaan tarif resiprokal atau yang lebih dikenal dengan Tarif Trump itu.
Baca Juga
“Jadi sampai sekarang kita belum ada kesepakatan antara Amerika dengan Indonesia, termasuk tarifnya seperti apa. Yang masih berlaku adalah seperti yang disampaikan kemarin bahwa ada perpanjangan yang 3 bulan itu,” kata Budi dalam acara Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Meski belum ada keputusan akhir dari Pemerintah AS, tetapi Mendag mengaku yakin proses negosiasi bisa berjalan mulus tanpa hambatan, sehingga kinerja ekspor Indonesia tetap tumbuh.
“Ya kita harus berupaya untuk [negosiasi tarif AS—Indonesia berjalan] mulus ya. Itu target kami,” ujarnya.
Untuk diketahui, pada 2 April 2025, Presiden AS menerapkan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32%, lantaran Indonesia dianggap menghambat laju perdagangan AS, yakni penerapan tarif sepihak (tidak timbal balik), TKDN, sistem perizinan impor kompleks, dan devisa hasil ekspor (DHE).
Namun, pada 9 April 2025, AS menangguhkan pengenaan tarif resiprokal selama 90 hari untuk 56 negara mitra, termasuk Indonesia. Kemudian, pada 4 Juni 2025, Presiden AS menggandakan tarif sektoral (baja, aluminium, dan produk turunannya) menjadi 50% untuk semua negara, kecuali Inggris.
“Yang namanya berunding ya, kita menawarkan ini, dia menawarkan apa, kayak orang jual beli kan. Kan ini sama-sama butuhnya. Amerika juga butuh kita. Kita juga butuh [AS],” terangnya.
Apalagi, kata Budi, ekspor Indonesia ke Negara Paman Sam menorehkan surplus pada Januari—Mei 2025. Untuk itu, pemerintah harus tetap melakukan negosiasi agar akses perluasan pasar ke AS menjadi lebih mudah.
“Mereka butuh kita, kita juga butuh pasar dia. Ekspor kita, surplus kita malah Januari—Mei ini yang tertinggi ke Amerika kan. Kedua India, menggeser India sekarang Amerika,” ungkapnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat terbatas (ratas) dengan sejumlah menteri di kabinetnya untuk membahas tarif Trump.
Dalam ratas tersebut, pemerintah juga menyebut adanya perkembangan positif terkait perundingan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengatakan bahwa pemerintah menilai hubungan dagang kedua negara memiliki kepentingan strategis yang penting untuk dijaga.
“Kedua negara sepakat untuk mengedepankan win-win solution dengan melihat aspek strategis hubungan ekonomi bilateral Indonesia dan Amerika Serikat. Saat ini, tim negosiator tengah membahas permintaan dan penawaran dari kedua negara secara intensif,” ujar Teddy.
Neraca Dagang
Kendati demikian, Budi berharap proses negosiasi ini tidak mengganggu neraca perdagangan Indonesia yang selama menorehkan surplus 61 bulan berturut-turut. Terlebih, AS menjadi penyumbang surplus tertinggi sebesar US$7,08 miliar pada Januari—Mei 2025.
Negeri Paman Sam itu berhasil menggeser posisi India yang selama ini berada di urutan pertama. Sepanjang lima bulan pertama 2025, India menyumbang surplus sebesar US$5,3 miliar, lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$6,59 miliar.
Sejak 2020–2024, neraca perdagangan Indonesia dengan AS terus menorehkan surplus di kisaran US$10 miliar—US$16,6 miliar dengan tren pertumbuhan surplus sebesar 5,32%.
Sepanjang Januari—Desember 2024, misalnya, surplus neraca perdagangan dengan AS tercatat sebesar US$14,34 miliar. Kala itu, AS menempati posisi kedua penyumbang surplus terbesar bagi Indonesia.
Pada 2024 pula, AS menjadi negara tujuan ekspor utama nomor kedua bagi Indonesia dengan pangsa sebesar 9,94% atau senilai US$26,3 miliar.
Di sisi lain, untuk negara asal impor, AS merupakan negara pemasok utama keempat bagi Indonesia dengan pangsa sebesar 5,12% atau senilai US$12 miliar.
Dampak Tarif Trump
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mewanti-wanti pengenaan tarif Trump terhadap Indonesia berpotensi bisa memicu penurunan ekspor-impor ke depan.
Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad mengatakan tarif resiprokal Trump berdampak pada ekspor dan impor beberapa negara, termasuk Indonesia.
Ekspor dan impor Indonesia masing-masing diperkirakan bisa turun 2,83% dan 2,22% imbas pengenaan tarif dari Presiden AS Donald Trump.
“Ekspor kita akan turun, impor kita juga akan turun. Jadi memang tidak ada yang dipungkiri, bahwa tidak mungkin ini [tarif resiprokal AS] tidak berdampak, ini pasti berdampak negatif ya,” kata Tauhid dalam acara Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Menurut Indef, Australia diramal menjadi negara dengan penurunan ekspor terdalam imbas pengenaan tarif Trump, yakni mencapai 6,26%. Mengekor, Britania Raya dengan penurunan ekspor sebesar 4,12%.
Adapun, Indef memproyeksi China menjadi negara yang mengalami penurunan impor terdalam, yakni sebesar 14,53%. Disusul, Vietnam, Thailand, India, Jepang, dan Korea Selatan yang masing-masing diproyeksikan akan mengalami penurunan impor sebesar 6,56%, 5,62%, 4,19%, 3,2%, dan 2,24%.
Tauhid juga mengatakan bahwa pengenaan tarif resiprokal juga berdampak negatif terhadap perubahan ekspor sektoral di Indonesia, salah satunya logam besi (besi dan baja) yang diproyeksikan bisa turun 1,47%.
Begitu pula dengan ekspor tekstil dan produk pakaian yang bisa turun 9,16%, komputer dan elektronik turun 10,01%, produk mineral nonlogam turun 10,13%, peralatan listrik turun 13,99%, dan manufaktur lainnya juga berpotensi turun hingga 36,97%.
“Misalnya tekstil, komputer, kemudian juga alas kaki, logam, peralatan listrik, itu [berdampak] negatif,” ujarnya.
Di sisi lain, Tauhid mengatakan bahwa dampak pengenaan tarif AS ini justru berpotensi terkerek di beberapa sektor, seperti ekspor perawatan transportasi lainnya naik sebesar 12,15%, utilitas dan konstruksi naik 5,69%, kendaraan bermotor dan suku cadangnya naik 5,05%, serta pertambangan dan ekstraksi yang naik 4,21%.
“Karena bisa saja ada yang kemudian tetap memiliki daya saing, ada negara lain yang kemudian juga terkena imbas tarif lebih besar, sehingga kita memiliki peluang beberapa komoditas. Misalnya saja adalah peralatan utilitas, kendaraan bermotor, pertambangan, itu positif,” tuturnya.
Secara keseluruhan, Tauhid menuturkan dampak ekonomi tarif Trump terhadap Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara lainnya, yakni turun 0,05%. Meski begitu, pemerintah dinilai perlu melihat risiko ekonomi dunia dan China ke depan, serta meningkatnya eskalasi tensi Timur Tengah pada harga minyak dunia.