Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Federal Reserve Jerome Powell memperingatkan bahwa kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump memunculkan risiko inflasi yang lebih persisten. Hal ini membuat bank sentral harus berhati-hati sebelum memangkas suku bunga lebih lanjut.
Berbicara di hadapan Komite Perbankan Senat AS pada Rabu (25/6/2025) waktu setempat, Powell menjelaskan meskipun secara teori tarif hanya berdampak sementara terhadap harga, realitanya bisa berbeda.
“Jika kenaikan harga datang cepat dan selesai, maka ya, besar kemungkinan itu hanya satu kali. Tapi ini adalah risiko nyata. Sebagai pihak yang bertanggung jawab menjaga stabilitas harga, kami harus mengelola risiko itu,” ujar Powell dikutip dari Reuters, Kamis (26/6/2025).
Menurutnya, efek tarif dapat berskala besar maupun kecil, tetapi tetap perlu didekati dengan hati-hati. Dia menuturkan, jika The Fed salah langkah, biayanya dapat ditanggung masyarakat untuk waktu yang lama.
The Fed masih memperkirakan akan memangkas suku bunga tahun ini, tetapi waktunya masih belum pasti. Bank sentral ingin menunggu kejelasan lebih lanjut soal cakupan tarif serta bagaimana dampaknya terhadap harga dan pertumbuhan ekonomi.
Selama dua hari testimoni di Kongres, ekspektasi pasar terhadap kebijakan Fed tidak banyak berubah. Investor masih memperkirakan dua kali pemangkasan suku bunga pada 2025.
Baca Juga
Namun, pernyataan Powell semakin menyoroti ketegangan antara The Fed dan Presiden Trump, yang terus mendesak pemangkasan suku bunga segera.
Beberapa anggota Partai Republik bahkan menuduh Powell bersikap politis. Senator Bernie Moreno dari Ohio menuding Powell membuat kebijakan moneter dari sudut pandang politik karena kepala bank sentral AS itu tidak menyukai tarif.
Namun, Senator Thom Tillis dari North Carolina membela pendekatan hati-hati The Fed, dengan menyebut bahwa bahkan peritel besar seperti Walmart pun masih kesulitan menghitung dampak tarif terhadap harga dan permintaan.
Sementara itu, Trump mengatakan telah mempersempit pilihan calon pengganti Powell menjadi tiga atau empat nama, mengingat masa jabatan Powell akan berakhir pada Mei 2026.
Risiko Inflasi Masih Membayangi
Powell juga menekankan bahwa kenaikan tarif kali ini berbeda dari sebelumnya. Pada masa jabatan pertama Trump, tarif yang diberlakukan lebih kecil dan terjadi saat inflasi masih rendah. Namun kini, inflasi sudah berada di atas target 2% selama hampir empat tahun.
“Ini situasi yang berbeda. Tidak ada preseden modern untuk ini,” kata Powell.
Menurutnya, Fed memperkirakan inflasi akan mulai naik pada musim panas tahun ini akibat kenaikan tarif impor. Oleh karena itu, Fed belum nyaman untuk memangkas suku bunga sampai benar-benar terlihat apakah harga mulai naik.
“Kita akan mulai melihat ini dalam data Juni dan Juli. Jika tidak, kami terbuka dengan kemungkinan bahwa dampaknya terhadap konsumen lebih kecil dari yang diperkirakan. Tapi jika benar terjadi, itu akan menjadi pertimbangan penting bagi kebijakan,” ujarnya.
Saat ini, The Fed mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5% sejak Desember lalu. Proyeksi terbaru menunjukkan mayoritas pembuat kebijakan memprediksi pemangkasan sebesar 50 basis poin hingga akhir 2025.
Namun, terjadi perbedaan pandangan di internal The Fed. Tujuh dari 19 pejabat memperkirakan tidak ada pemangkasan sama sekali, sementara 10 lainnya memperkirakan dua kali atau lebih pemangkasan.
Tarif tambahan atas berbagai produk akan berlaku mulai 9 Juli, dan belum jelas apakah pemerintah AS akan tetap menggunakan tarif dasar 10% atau memberlakukan tarif yang lebih tinggi.
Dengan ketidakpastian itu, Fed memilih bersikap hati-hati sambil terus memantau dampak lanjutan terhadap inflasi dan ekonomi secara keseluruhan.