Bisnis.com, JAKARTA — Pelambatan ekspor pada April 2025 dan diiringi PMI Manufaktur yang melambat menjadi sinyal ekonomi domestik menampakkan pelemahan.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede tidak menampik bahwa data ekspor yang anjlok 10,77% secara bulanan (month to month/MtM) dan kontraksi PMI Manufaktur ke level 47,4 pada Mei 2025 memang mencerminkan adanya tekanan lanjutan dari sisi eksternal maupun permintaan domestik yang lemah.
“Kedua indikator ini tidak bisa dipandang terpisah, karena saling mengonfirmasi pelemahan aktivitas industri yang ditopang oleh ekspor dan konsumsi,” ujarnya, Senin (2/6/2025).
Secara umum, kinerja ekspor Indonesia April 2025 mencapai US$20,74 miliar, lebih rendah dari Maret 2025 yang mencapai US$23,25 miliar atau turun 10,77% secara MtM.
Meskipun secara tahunan ekspor masih mencatat pertumbuhan 5,76% dan 7,17% untuk ekspor nonmigas, penurunan tajam secara bulanan (MtM) terjadi terutama pada komoditas unggulan seperti bahan bakar mineral (-6,23%), nikel dan turunannya (-21,28%), serta minyak nabati (-39,23%).
Josua melihat kondisi ini mencerminkan tekanan dari ketidakpastian perdagangan global, termasuk efek lanjutan dari tarif resiprokal yang diberlakukan AS di bawah kebijakan Trump, yang menurunkan ekspor Indonesia ke negara-negara utama seperti Jepang (-22,28% YoY) dan India (-19,07% YoY).
Baca Juga
Sementara itu, dari sisi PMI manufaktur, kontraksi dua bulan berturut-turut dan penurunan permintaan baru—terbesar sejak Agustus 2021—menunjukkan pelemahan permintaan domestik maupun ekspor.
“Perusahaan manufaktur juga mulai menurunkan pembelian bahan baku dan mengurangi inventaris, tanda bahwa optimisme jangka pendek masih lemah,” lanjutnya.
Namun demikian, Josua tetap melihat peluang untuk rebound tetap terbuka. Terlebih, keyakinan pelaku industri terhadap prospek 12 bulan ke depan meningkat, yang tercermin dari kenaikan ketenagakerjaan lima kali dalam enam bulan terakhir.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal turut melihat bahwa untuk bulan-bulan yang akan datang, tren penurunan ekspor berpotensi masih terjadi karena kondisi manufaktur yang kontraksi dipengaruhi oleh faktor domestik dan global.
“Domestik ada pelemahan sisi permintaan, kami lihat indikasi pelemahan masih terus berlanjut, termasuk data-data yang dikeluarkan BPS hari ini, deflasi cukup tajam di luar kebiasaan. Begitu juga data lain yang berkaitan dengan permintaan, penjualan barang, termasuk barang ritel,” jelasnya.
Faisal melihat ekspor juga berpotensi mengalami tekanan dari sisi harga yang turun, termasuk ekspor komoditas andalan batu bara. Bahkan harga harga batu bara mencapai level terendah sejak Mei 2021.
Selain itu, potensi penurunan ekspor bakal terjadi sebagai konsekuensi dari pengenaan tarif oleh AS yang dihitung 90 hari atau mulai efektif pada Juli dan bergantung pada hasil negosiasi mendatang.
Sebelumnya, Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyampaikan bahwa secara umum ekspor bulanan turun, utamanya akibat menurunnya nilai ekspor komoditas lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15) sebesar 6,23% secara bulanan (month to month/MtM) atau 24,06% secara tahunan (year on year/YoY).
Sebagai catatan, pada April 2025 harga komoditas di pasar internasional secara umum bervariasi. Penurunan harga komoditas energi didorong oleh penurunan harga minyak mentah dan batu bara.
Sementara itu, impor mencapai US$20.585 juta atau sekitar US$20,59 miliar pada April 2025, meningkat dari Maret 2025 yang senilai US$18,92 miliar.
Alhasil, neraca perdagangan barang Indonesia pada April 2025 yang berasal dari selisih ekspor dan impor mencatatkan angka sebesar US$158,8 juta (pembulatan US$160 juta atau US$0,16 miliar).