Bisnis.com, JAKARTA —Konsep business matchmaking, atau pendekatan ekosistem yang mendorong kolaborasi jangka panjang antara pelaku industri besar, pabrikan lokal, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan lembaga pendidikan dinilai bisa menjadi salah solusi bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan middle income trap.
Vice President Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas Erwin Suryadi mengatakan saat ini Indonesia menghadapi tantangan serius untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang melanda berbagai sektor dan meningkatnya penerapan kecerdasan buatan (AI) yang mulai menggantikan peran tenaga kerja manusia.
Menurutnya, situasi saat ini kian mengkhawatirkan di tengah tekanan perlambatan ekonomi global, konflik geopolitik, hingga transisi energi. Di sisi lain, Indonesia sedang dalam upaya keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap dan mencapai status negara maju pada 2045.
Selain memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar, negara ini sedang menikmati bonus demografi, yakni kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif berada pada puncaknya. Namun tanpa pengelolaan yang cermat dan pendekatan inovatif, potensi tersebut justru berisiko menjadi beban.
“Namun bonus demografi tidak akan berarti jika kita tidak menciptakan ekosistem yang mampu menyerap dan memberdayakan talenta lokal. Kita memerlukan pendekatan yang lebih dari sekadar mempertemukan supply demand,” ujarnya, Sabtu (31/5/2025).
Dia menambahkan banyak jenis pekerjaan yang berisiko punah dalam lima tahun ke depan akibat otomatisasi dan penerapan teknologi AI .“Pekerjaan seperti teller bank, kasir, entri data, akuntansi, hingga staf pembukuan adalah contoh yang mulai tergantikan. Ini akan menjadi persoalan baru bagi ketenagakerjaan, jika tidak diantisipasi dengan strategi yang tepat,” katanya.
Baca Juga
Menurutnya konsep business matchmaking, yakni pendekatan ekosistem yang mendorong kolaborasi jangka panjang antara pelaku industri besar, pabrikan lokal, UMKM, dan lembaga pendidikan. Pendekatan ini menekankan pendampingan yang memacu peningkatan kualitas produk (quality), efisiensi biaya (price), dan ketepatan pengiriman (delivery).
Erwin berujar gagasan business matchmaking merujuk pada pemikiran begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang menolak persaingan bebas secara mutlak di negara berkembang.
Dalam pandangan Soemitro tersebut, lanjutnya, pasar tidak akan bekerja adil tanpa kehadiran negara sebagai pengatur dan pelindung pelaku ekonomi lokal.
Prinsip ini sejalan dengan business matchmaking, yang menuntut peran aktif, yang memberikan mandat kepada pelaku industri besar untuk ikut membina pelaku lokal agar mampu bersaing secara sehat dan setara. Konsep ini, lanjutnya, juga telah diterapkan di sektor hulu minyak dan gas bumi.
“Pengalaman di sektor hulu migas menunjukkan, ketika pelaku industri skala besar bersedia membina dan mempercayai pelaku lokal, hasilnya luar biasa. Banyak pabrikan dalam negeri yang ternyata mampu bersaing di tingkat global,” terang Erwin.
Sementara itu, Manajer Project & Sourcing Operation Petronas Carigali Iraq Holding BV, Fery Sarjana menilai keberhasilan business matchmaking terletak pada kesediaan semua pihak terlibat secara aktif dan konsisten.
“Selama ini UMKM atau pabrikan lokal sering merasa sendirian menghadapi tuntutan industri besar. Dengan pendekatan business matchmaking, mereka tidak hanya diberi peluang, tetapi juga ditunjukkan jalannya,” kata Fery.