Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pola pengelolaan dan pembiayaan yang direncanakan pemerintah dalam membentuk 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih berpotensi memiliki sederet permasalahan.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyebut, masalah pertama adalah dari sisi bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Ajib menjelaskan bahwa sektor perbankan adalah industri keuangan dengan regulasi yang tinggi (high regulated).
Pasalnya, lanjut dia, seluruh aktivitas di sektor perbankan akan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Dia mengkhawatirkan syarat formal kredit berupa character, capacity, capital, collateral dan condition (5C) akan sulit dipenuhi oleh Kopdes Merah Putih.
“Kalau program ini dibuat mandatory, bank Himbara akan kesulitan secara teknis perbankan,” ujar Ajib dalam keterangan tertulis, Senin (19/5/2025).
Bahkan, Ajib menyebut, bank Himbara juga akan kesulitan dalam menyalurkan program kredit usaha rakyat (KUR) melalui Kopdes Merah Putih.
Baca Juga
“Cenderung akan terhambat kondisi para debitur di masyarakat yang sedang marak terbelit masalah pinjaman online [pinjol] dan lain-lain, yang membuat SLIK OJK juga menjadi kendala. Pemerintah harus membuat peraturan terobosan untuk mengatasi hal ini,” tuturnya.
Potensi masalah yang kedua adalah dalam konteks keuangan negara. Dia menyebut, ketika opsi pembiayaan Kopdes Merah Putih diambil dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), baik berasal dari dana desa maupun lainnya, maka koperasi akan berpotensi menjadi objek pemeriksaan dan audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Untuk itu, Ajib menuturkan bahwa keuangan negara harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan efektif.
Adapun, potensi masalah ketiga adalah para pengelola koperasi. Ajib mewanti-wanti dengan sumber daya yang ada dan literasi keuangan yang cenderung masih rendah, Kopdes Merah Putih akan menghadapi masalah yang cukup serius jika tidak bisa mengelola sesuai prinsip-prinsip dan standar pengelolaan keuangan negara.
Dia menuturkan bahwa indikasi tentang pengelolaan yang belum profesional tercermin dari International Cooperative Alliance (ICA) pada 2023 yang menunjukkan tidak ada satu pun koperasi Indonesia masuk jajaran 300 koperasi dunia.
Padahal, sambung dia, Indonesia adalah negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia, yakni mencapai lebih dari 130.000 koperasi.
Ajib menyebut, sederet potensi masalah ini perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah. “Pemerintah cukup mengoptimalkan koperasi yang sudah ada, termasuk misalnya koperasi unit desa [KUD), dengan meningkatkan kualitas SDM, membuat sistem serta digitalisasi,” imbuhnya.
Di sisi lain, Ajib menuturkan, jika fokus pemerintah fokus dengan hilirisasi di daerah-daerah dengan alokasi APBN, bisa mengoptimalkan infrastruktur yang sudah ada, yakni melalui badan usaha milik desa (bumdes).
Menurut Ajib, pemerintah harus memisahkan secara jelas fungsi koperasi dan entitas lain pengelola keuangan negara, serta pelibatan perbankam yang harus prudent dalam memberikan kredit. Dengan begitu, tataran konsep dam aplikasinya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Hal ini untuk tetap menjaga agar pelaksanaan program Koperasi Merah Putih tidak menjadi abu-abu,” tandasnya.