Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mewaspadai kinerja sektor manufaktur meski Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia melesat ke level 53,6 pada Februari 2025 atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya 51,9.
PMI manufaktur di atas level 50 mencerminkan industri masih dalam level ekspansi. Namun, Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan ekspansi tersebut terjadi secara hati-hati dan bersifat monumental lantaran didorong persiapan Ramadan yang juga turut meningkatkan permintaan pesanan baru.
“Jadi meskipun ekspansi sedang berlangsung, perusahaan tetap selektif dalam memperbesar kapasitas produksinya,” kata Shinta kepada Bisnis, Selasa (4/3/2025).
Shinta menyebutkan bahwa dunia usaha tetap mencermati faktor risiko, seperti fluktuasi nilai tukar, kenaikan biaya bahan baku, serta kondisi permintaan global yang belum sepenuhnya stabil.
Kendati demikian, Apindo tetap melihat sinyal positif di mana manufaktur dapat ekspansi tiga bulan beruntun sejak Desember 2024, setelah lima bulan sebelumnya terus menerus mengalami kontraksi.
“Kondisi ini tentu menjadi angin segar di tengah berbagai tantangan global dan domestik yang dihadapi pelaku usaha,” tuturnya.
Baca Juga
Menurut Shinta, capaian ini yang juga menjadi pertumbuhan tercepat sejak Maret 2024, menunjukkan bahwa sektor ini telah merespons permintaan pasar dengan baik, sekaligus memberikan sentimen optimisme terhadap prospek bisnis tahun 2025.
Pihaknya melihat hal tersebut sebagai awal yang baik, tapi pemulihan yang lebih stabil masih memerlukan dukungan kebijakan yang konsisten dari pemerintah untuk menjaga momentum pertumbuhan.
“Perlu dicatat bahwa faktor ekspansi bulan Februari ini karena pertumbuhan penjualan yang kuat berkat dorongan dari pasar domestik, sedangkan pasar ekspor mengalami penurunan marginal,” terangnya.
Di samping itu, Shinta menuturkan bahwa peningkatan PMI didorong oleh kenaikan permintaan domestik dan peningkatan aktivitas produksi. Jika tren positif itu berlanjut dan ditopang oleh stabilitas daya beli masyarakat, maka potensi manufaktur pada Maret 2025 dinilai masih cukup optimistis untuk tetap berada di zona ekspansi.
“Namun demikian, kami tetap mewaspadai tekanan biaya produksi dan permintaan ekspor yang masih melemah sebagai tantangan yang perlu diantisipasi oleh pelaku usaha,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa kenaikan PMI memang merupakan sinyal positif bahwa secara umum aktivitas manufaktur dan produksi meningkat. Namun, situasi ini tidak selalu merata di semua subsektor industri.
Pasalnya, beberapa industri tertentu, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), masih menghadapi tekanan berat akibat penurunan permintaan ekspor dan persaingan pasar global. Hal ini yang menyebabkan masih adanya kasus PHK di beberapa perusahaan besar. Artinya, meski PMI tumbuh, tantangan struktural di sektor tertentu masih memerlukan perhatian khusus.
“Kami mendorong pemerintah untuk terus memperkuat kebijakan yang mendorong daya saing industri nasional, antara lain dengan menjaga stabilitas harga energi, memastikan ketersediaan bahan baku dengan harga kompetitif, serta memberikan insentif bagi ekspor dan investasi,” ujarnya.
Tak hanya itu, pengusaha juga menilai penguatan pasar domestik dan daya beli masyarakat juga penting agar industri tetap memiliki penopang pertumbuhan yang solid di tengah ketidakpastian global.
Pemerintah juga disebut perlu memastikan berjalannya reformasi struktural yang berfokus pada efisiensi biaya operasional, seperti penurunan biaya logistik, efisiensi rantai pasok, dan penyederhanaan regulasi yang sering kali menjadi hambatan bagi pelaku usaha.
“Dalam hal ini, Apindo berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan yang ada, sehingga mampu menciptakan ekosistem bisnis yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan,” pungkasnya.