Bisnis.com, JAKARTA - Penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal menjadi pertanda lesunya permintaan terhadap industri manufaktur nasional. Kondisi ini perlu diwaspadai, apalagi kondisi ekspor nonmigas pada Januari 2025 juga mengalami kontraksi.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor bahan baku/penolong mencapai US$13,04 miliar pada Januari 2025 atau turun 13,11% (month-to-month/mtm) dari Desember 2024 sebesar US$15 miliar dan lebih rendah dibandingkan Januari 2024 lalu sebesar US$13,46 miliar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan hal ini perlu diwaspadai lantaran permintaan domestik yang masih melambat dan impor bahan baku dapat turun lebih tajam seiring dengan kontraksi ekspor ke sejumlah negara tujuan utama.
"Ini yang perlu diwaspadai adalah memang karena perlambatan konsumsi domestik yang akan memengaruhi permintaan terhadap produk-produk industri manufaktur ini bisa berpengaruh terhadap berkurangnya kebutuhan impor bahan baku/penolong," kata Faisal kepada Bisnis, Senin (17/2/2025).
Bahkan, Faisal melihat impor bahan baku/penolong saat ini turun lebih tajam ketimbang ekspor. Tak hanya itu, impor barang modal juga mengalami penurunan signifikan sebesar 15,19% mtm atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya US$3,91 miliar.
Di samping itu, nilai ekspor Januari 2025 juga menunjukkan perlambatan hingga anjlok 8,56% secara bulanan atau senlai US$21,45 miliar. Adapun, nilai ekspor migas tercatat US$1,06 miliar atau turun 31,35% mtm dan ekspor nonmigas turun 6,96% mtm menjadi senilai US$20,4 miliar.
Baca Juga
"Penurunan ekspor secara mtm, saya lihatnya ini terjadi pada negara-negara tujuan ekspor kita yang utama, China, Amerika, India, bahkan Uni Eropa, Asean. Ini semua secara bulanan mengalami, ekspor kita Januari lebih rendah dibandingkan Desember," ujarnya.
Dia menyoroti kontraksi ekspor ke China yang turun 21,06% dari US$5,79 miliar pada Desember 2024, menjadi US$4,56 miliar pada Januari 2025. Menurut Faisal, kondisi ini tak lepas dari kondisi eknomi China maupun global yang tertekan.
"Khususnya di negara-negara mitra dagang utama ini memang sudah diprediksi oleh IMF pada akhir tahun lalu bahwa pertumbuhan PDB akan melambat, artinya potensi permintaan terhadap barang dan jasa termasuk dari luar negeri juga permintaannya menurun, sebagai konsekuensi perlambatan pertumbuhan dalam negerinya, permintaan domestiknya," jelasnya.
Kondisi tersebut, imbuhnya, berdampak pada ekspor negara-negara pasar utama Indonesia. Dia pun mewanti-wanti pemerintah untuk mewaspadai potensi oversupply pasokan dari China. Pasalnya, permintaan domestik di negara tersebut menurun dan tingkat inflasi yang rendah.
Menurutnya, kondisi serupa juga perlu diwaspadai dari kondisi ekonomi Amerika Serikat yang terdapat potensi perlambatan. Begitu pula dengan India yang permintaan barang dari Indonesia pun terus melemah kendati pertumbuan ekonomi negara tersebut masih terjaga.
"Kalau lihat mitra dagang non tradisional, secara keseluruhan kalo liat di BPS malah lebih tinggi, kita lihat selain dari 5 tujuan utama ini malah mengalami peningkatan baik secara bulanan maupun tahunan. Artinya kita perlu lihat lebih giat lagi peluang-peluang ke negara non tradisional," pungkasnya.