Bisnis.com, JAKARTA – Ekonomi di kawasan Asia diproyeksi menghadapi sejumlah tantangan pada 2025, baik dari dalam maupun tantangan eksternal.
Tantangan ini berasal dari ketidakpastian kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) di bawah Donald Trump hingga tanda-tanda perlambatan ekonomi China yang terlihat di awal tahun.
Head of Asia Pacific Economic & market Analysis Citi Research Johanna Chua mengatakan secara umum, pertumbuhan ekonomi Asia diperkriakan akan melambat pada 2025. Namun, perlambatan ini sebagian besar terjadi di Asia Utara.
“[Pertumbuhan ekonomi] China akan melambat dari 5% menjadi 4,2%. Beberapa negara Asia Utara, seperti Korea dan Taiwan akan melambat karena siklus teknologi,” ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu, dikutip Selasa (28/1/2025).
Di sisi lain, sebagian besar wilayah Asia lain seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang cukup stabil.
Dari sisi eksternal, Johanna menyoroti arah perekonomian Amerika Serikat tahun ini. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi AS memiliki implikasi yang besar terhadap arah kebijakan The Fed dan suku bunga global.
Baca Juga
Meskipun ekonomi AS sejauh ini terlihat cukup resilien, ada risiko yang masih mengintai perekonomian dari guncangan yang bisa terjadi di bawah pemerintahan baru AS di bawah Presiden Donald Trump.
Johanna mengatakan saat ini kondisi ekonomi AS terlihat seperti kondisi goldilocks, di mana pertumbuhan melambat namun tidak sampai resesi dan inflasi mulai meningkat. Hal ini memberikan alasan untuk pelonggaran moneter bagi The Fed.
“Tantangannya di sini adalah, bias kami adalah bahwa sebenarnya terkait suku bunga AS, kami pikir pasar menilai terlalu rendah jumlah ruang bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga,” jelas Johanna.
Johanna menyebut tahun 2025 sebagai tahun rollercoaster. Hal ini karena masih belum ada kejelasan mengenai berbagai isu, terutama kejelasan suku bunga The Fed dan arah kebijakan tarif Donald Trump.
“Ini adalah lingkungan yang sangat tidak stabil, lingkungan yang tidak dapat diprediksi, karena kita tidak tahu persis, berapa besar, luas dan waktu dari kebijakan tarif Trump,” tambahnya.
Ketidakpastian tersebut menimbulkan potensi tantangan terhadap aliran portofolio, terutama ke dalam negara-negara emerging market, termasuk di Asia.
“Meskipun ada jendela peluang, kami pikir latar belakang global untuk aliran portofolio di pasar negara berkembang, termasuk Asia, ditantang oleh ketidakpastian seputar perdagangan,” tambahnya.
Lampu Kuning dari China
Tantangan lain bagi perekonomian Asia 2025 terlihat dari China awal tahun ini usai Negeri Panda ini mencatat perlambatan aktivitas manufaktur China. Hal itu memutus momentum pemulihan yang dipicu oleh langkah-langkah stimulus pemerintah.
Perlambatan itu tercermin lewat Purchasing Managers’ Index (PMI) atau indeks manufaktur turun menjadi 49,1 atau level terendah sejak Agustus 2024. PMI non-manufaktur untuk konstruksi dan jasa turun menjadi 50,2, tepat di atas angka 50 yang memisahkan ekspansi dan kontraksi.
Baik produksi maupun pesanan baru turun ke level terendah dalam lima bulan, menurut data PMI. Sebagai tanda melemahnya permintaan global, pesanan ekspor baru turun ke level terendah sejak Februari.
"Manufaktur terpengaruh oleh liburan Festival Musim Semi yang semakin dekat dan kembalinya karyawan ke kampung halaman mereka," kata Zhao Qinghe, ahli statistik senior di NBS.
Kekecewaan tersebut menyusul data resmi lainnya yang menunjukkan dukungan fiskal pemerintah terhadap ekonomi lemah pada tahun lalu.
Perusahaan industri melaporkan penurunan laba selama 3 tahun berturut-turut karena tekanan deflasi terus berlanjut, meskipun program untuk mensubsidi pembelian barang-barang konsumen dan mesin berkontribusi pada kenaikan laba pada akhir tahun 2024.
Secara keseluruhan, serangkaian angka terbaru mengungkapkan ekonomi No. 2 dunia berisiko mandek kecuali pemerintah mengeluarkan lebih banyak uang — terutama melalui pinjaman dan belanja publik — untuk menutupi lubang permintaan.
"Tanpa sikap yang lebih pro-pertumbuhan pada kebijakan moneter dan fiskal, akan sulit bagi China untuk mencegah perlambatan ekonomi yang lebih tajam pada tahun 2025," kata Carlos Casanova, ekonom senior Asia di Union Bancaire Privee.