Bisnis.com, JAKARTA — Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia menjadi 4,9% pada 2025 di tengah ketidakpastian global dan kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Dalam laporan prospek tahunannya yang dirilis pada Rabu (9/4/2025), ADB menyatakan bahwa angka tersebut dihitung sebelum pengumuman tarif baru oleh Trump pada 2 April lalu. ADB menyebut kebijakan tarif tersebut akan memangkas pertumbuhan kawasan hingga sepertiga poin persentase pada 2025 dan satu poin persentase penuh pada 2026.
Adapun pada 2026, ADB memproyeksi pertumbuhan ekonomi terus melambat jadi 4,7%.
Kepala Ekonom ADB Albert Park mengatakan bahwa angka proyeksi tersebut akan direvisi lebih lanjut dalam laporan periode Juli mendatang. ADB juga mengisyaratkan adanya pemangkasan proyeksi seiring memburuknya kondisi perdagangan global.
Asia disebut sebagai kawasan yang paling terdampak akibat kebijakan tarif AS karena banyak negara di wilayah ini memiliki surplus perdagangan dengan Negeri Paman Sam.
"Penerapan penuh tarif AS akan sangat merugikan pertumbuhan di seluruh kawasan. Masih ada ketidakpastian besar, tetapi beberapa tarif mungkin akan dibatalkan," jelas Park.
Baca Juga
Meskipun tarif akan berdampak paling besar pada China, ADB menilai bahwa negara tersebut telah mulai mengurangi ketergantungannya pada permintaan AS. Namun, negara-negara lain di Asia yang mengambil alih posisi China justru akan sangat merasakan dampaknya.
Park menambahkan, sekitar 3% dari PDB regional bergantung pada permintaan akhir dari AS.
ADB juga menyebut bahwa meski China telah membalas kebijakan tarif AS, negara-negara lain tidak akan mengikuti langkah tersebut karena bisa memperparah dampak negatif yang ada. Kepala Ekonom ADB John Beirne memperingatkan bahwa negara-negara yang mencoba mendevaluasi mata uangnya secara kompetitif dapat terkena tambahan tarif dari AS.
Sebagai respons, ADB mendorong negara-negara Asia untuk memperkuat kerja sama dan meningkatkan perdagangan intra-kawasan, sebuah tren yang disebut telah tumbuh di wilayah ini.
"Mereka juga harus menghubungi AS," kata Park.
Pemerintah di kawasan juga disarankan untuk mendukung perusahaan dan pekerja yang terdampak pemindahan usaha akibat tarif tinggi. Namun, menurut ADB, jika kebijakan ini berlangsung permanen, upaya mitigasi tersebut tidak akan berkelanjutan.
ADB juga memperingatkan India agar tidak terlalu optimistis melihat tarif yang relatif lebih rendah sebagai sebuah peluang. India saat ini menghadapi tarif sebesar 26%, lebih rendah dari China yang mencapai 54% dan Vietnam sebesar 46%.
"Anda harus berhati-hati dalam merayakan tarif 26%," kata Park.
Direktur penelitian ekonomi makro di ADB, Abdul Abiad, menyebut bahwa ketidakpastian ini dapat menekan investasi. Ia menambahkan bahwa keputusan investor juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti infrastruktur, energi, logistik, dan akses ke rantai pasok yang lebih baik.