Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ADB: Negara-Negara Asia Paling Terdampak Kebijakan Tarif Trump

Pasar Asia akan menjadi kawasan yang paling terdampak negatif dari kebijakan tarif impor yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Logo Asian Development Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (8/4/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Logo Asian Development Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (8/4/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Pasar Asia akan menjadi kawasan yang paling terdampak negatif dari kebijakan tarif impor yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

Melansir Bloomberg pada Rabu (9/4/2025), Asian Development Bank (ADB) mengatakan tarif AS akan memangkas pertumbuhan di kawasan tersebut hingga sepertiga poin persentase pada 2025 dan satu poin persentase penuh pada 2026. 

Seiring dengan hal tersebut, ADB akan memangkas angka proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk kawasan Asia pada laporannya untuk periode Juli mendatang.

Dalam laporan prospek tahunannya yang dirilis Rabu, angka-angka yang dihitung sebelum pengumuman tarif pada 2 April oleh Presiden Donald Trump, ADB memperkirakan pertumbuhan di negara-negara berkembang Asia akan menurun menjadi 4,9% pada 2025 dan 4,7% pada 2026. 

Kepala Ekonom ADB Albert Park mengatakan, Angka tersebut akan direvisi lebih lanjut dalam laporannya pada bulan Juli.

Asia menjadi kawasan yang paling terpukul oleh tarif karena terkonsentrasinya negara-negara yang menjalankan surplus perdagangan dengan AS. 

"Penerapan penuh tarif AS akan sangat merugikan pertumbuhan di seluruh kawasan. Masih ada ketidakpastian besar, tetapi beberapa tarif mungkin akan dibatalkan," jelas Park. 

Meskipun tarif akan berdampak paling besar pada China, ekonomi terbesar di Asia tersebut secara bertahap telah mengurangi ketergantungannya pada permintaan AS. Namun, ADB menyebut negara-negara lain di kawasan tersebut telah mengisi kekosongan tersebut dan akan sangat terdampak. 

Park menambahkan, sekitar 3% dari PDB regional bergantung pada permintaan akhir dari AS.

Meskipun China telah membalas tarif AS, ADB tidak memperkirakan negara-negara lain akan melakukan tindakan seperti itu karena akan memperburuk dampak negatif. Kepala Ekonom ADB, John Beirne menuturkan, negara-negara yang mencoba mendevaluasi mata uang mereka secara kompetitif kemungkinan akan terkena tarif tambahan oleh AS.

ADB menyarankan negara-negara di kawasan tersebut untuk bekerja sama dan terlibat dalam lebih banyak perdagangan di antara mereka sendiri, sebuah tren yang sudah berlangsung di Asia. 

"Mereka juga harus menghubungi AS," kata Park. 

Pemerintah juga perlu mendukung perusahaan dan pekerja mereka dari pemindahan untuk mengatasi masa sulit, kata pejabat ADB. Namun, jika tarif tinggi menjadi permanen, upaya tersebut tidak akan berkelanjutan.

Pejabat ADB juga memperingatkan India agar tidak merayakan tarif yang relatif lebih rendah sebagai sebuah peluang karena tidak ada kepastian tarif tersebut akan tetap berlaku. Tarif India lebih rendah dari tarif China sebesar 54% dan tarif pesaing manufaktur regional Vietnam sebesar 46%.

"Anda harus berhati-hati dalam merayakan tarif 26%," kata Park. 

Investor cenderung mengurangi investasi mereka di masa ketidakpastian dan keputusan apa pun juga bergantung pada isu-isu lain seperti infrastruktur, energi, logistik, dan akses ke rantai pasokan yang lebih baik, kata Abdul Abiad, direktur penelitian ekonomi makro di ADB.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper