Bisnis.com, JAKARTA — Komisi IX DPR akan menindaklanjuti polemik regulasi tembakau yang mendapatkan penolakan dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).
Sebelumnya, Gappri mengirimkan surat kepada DPR sejak 25 September 2024 terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 Bagian XXI tentang Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 - 463, dan aturan turunannya (Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan).
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI mengitimkan surat balasan yang isinya adalah sesuai arahan Ketua DPR RI Puan Maharani, surat tersebut akan ditindaklanjuti oleh Komisi IX DPR.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji juga menolak PP No. 28/2024 dan produk hukum turunannya karena berisiko merugikan anggotanya.
"Selama 5 tahun terakhir produk hukum yang dibuat mulai dari Undang Undang sampai Peraturan Daerah terus menerus mengimpit eksistensi pertembakauan yang dampaknya sangat terasa pada lemahnya perekonomian pertembakauan," kata Agus dalam keterangannya, Senin (20/1/2025).
Agus menambahkan sejak terbitnya PP 28/2024, saat musim panen yang seharusnya industri saling berkompetisi menyerap bahan baku hasil panen, sampai saat ini sudah separuh musim panen, industri sudah banyak yang mundur karena tidak melakukan pembelian atau penyerapan.
Baca Juga
"Bagi kami para petani tembakau mengalami kebingungan karena serapan tembakau jauh dari harapan," ujarnya.
Ketua Umum Perkumpulan Gappri, Henry Najoan mengatakan proses penyusunan PP No. 28/2024 dan aturan turunannya (Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan) tidak melibatkan pelaku usaha terkait.
"Hal ini berisiko menimbulkan dampak negatif yang signifikan, tidak hanya bagi industri, tetapi juga bagi perekonomian nasional secara keseluruhan," kata Henry dalam keterangannya, Senin (13/1/2025).
Dia menilai pemberlakuan regulasi tersebut sejalan dengan agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), serta menimbulkan persaingan tidak sehat dan memicu maraknya peredaran rokok ilegal.
Henry menekankan pelaku IHT selaku pihak yang terdampak regulasi tersebut perlu mendapatkan hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.
"Kami mendesak pemerintah membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan dalam membuat regulasi yang adil dan berimbang. Hal itu sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, serta menjaga stabilitas perekonomian nasional," ujarnya.