Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menatap optimitis potensi perluasan pasar ekspor Indonesia pada 2025. Bahkan, prospeknya diyakini akan lebih cerah dibandingkan 2024 silam.
Ketua Umum Apindo 2023–2028 Shinta Widjaja Kamdani mengatakan secara umum kondisi pasar global pada 2025 akan lebih baik dari 2024. Memang, dia menyebut dunia usaha tak mengelak akan adanya potensi penyempitan akses pasar ekspor ke AS.
Hal itu seiring dengan proyeksi perubahan kebijakan perdagangan AS terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan besar terhadap AS seperti Indonesia di bawah pemerintahan Donald Trump.
“Namun, secara umum kondisi pasar global di 2025 diproyeksikan lebih baik dari di 2024,” kata Shinta kepada Bisnis, Senin (6/1/2025).
Apalagi, lanjut Shinta, permintaan impor global sudah berangsur naik pada kuartal III/2024 dan kuartal IV/2024. Selain itu, pasar-pasar yang mengalami kontraksi permintaan pada 2024 diperkirakan akan mengalami rebound atau normalisasi permintaan pada 2025, seperti Uni Eropa dan Jepang.
“Sehingga menciptakan peluang peningkatan kinerja ekspor yang sangat potensial bagi Indonesia,” ungkapnya.
Baca Juga
Menurutnya, jika peluang ini bisa disambut dengan kampanye penggunaan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan penyelesaian perundingan perdagangan Indonesia-Uni Eropa (Indonesia—EU CEPA), maka peluang Indonesia untuk memanfaatkan potensi pasar menjadi lebih tinggi.
“Dengan penyelesaian FTA baru seperti ICA CEPA [Indonesia–Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement], Indonesia juga berpeluang memperluas ekspor ke Kanada di 2025. Jadi peluang perluasan ekspornya besar, hanya masalah bagaimana pemerintah bisa mendorong ekspansi ekspor tersebut melalui kebijakan-kebijakan di dalam negeri,” tuturnya.
Adapun, dunia usaha disebut mengapresiasi pemerintah yang dapat mempertahankan kinerja neraca perdagangan dan ekspor yang positif meski pada 2024 kondisi pasar global kurang mendukung.
Meski demikian, Apindo menilai capaian yang terjadi hingga saat ini belum capaian yang optimal. Menurut laporan World Bank tahun lalu, pertumbuhan ekspor Indonesia jauh dalam 20–30 tahun terakhir dan tertinggal dari negara-negara peer group di kawasan.
“Kondisi yang ada saat ini justru memberikan sinyal stagnasi daya saing ekspor yang mengkhawatirkan dan perlu dimitigasi segera agar tidak berlanjut ke depannya, khususnya bila Indonesia ingin mencapai target pertumbuhan 8%,” ungkapnya.
Shinta menilai, investasi berorientasi ekspor atau investasi berbasis rantai nilai global (Global Value Chain/GVC) semestinya menjadi prioritas utama Indonesia ke depannya.
Hal ini dikarenakan pertumbuhan kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi tinggi di negara-negara, seperti China di awal 2000-an. Begitu pula dengan Vietnam yang banyak dikontribusikan oleh investasi yang berorientasi ekspor dan berbasis GVC.
Untuk itu, lanjut dia, daya saing iklim usaha atau investasi nasional harus semakin menarik bagi investasi berbasis GVC. “Bagi Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspor maupun untuk beralih dari ekspor komoditas ke ekspor produk bernilai tambah dalam skala yang lebih eksponensial,” imbuhnya.