Bisnis.com, JAKARTA — Badan Anggaran DPR mendesak pemerintah untuk menunda rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Jazilul Fawaid menekankan belakangan terjadi pelemahan daya beli masyarakat terutama di kelompok kelas menengah-bawah. Dia mengingatkan bahwa sektor konsumsi merupakan penyumbang utama pendapatan pajak negara.
"Jika daya beli masyarakat melemah akibat kenaikan PPN, maka konsumsi akan turun. Dampaknya, pendapatan pajak juga tidak optimal," ungkap Jazilul usai kunjungi Kanwil Dirjen Pajak Kota Pontianak, dikutip dari situs DPR pada Sabtu (30/11/2024).
Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya kajian komprehensif sebelum kebijakan tersebut diberlakukan. Jazilul menyarankan agar kenaikan PPN dilakukan pada saat daya beli masyarakat sudah pulih dan kuat.
Di sisi lain, politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menegaskan pentingnya keberimbangan antara kebutuhan fiskal pemerintah dan kondisi ekonomi masyarakat. Baginya, kenaikan PPN menjadi 12% bukan sekadar persoalan fiskal melainkan juga menyangkut keberlanjutan ekonomi.
Jazilul ingin pemerintah mengambil pendekatan yang lebih matang sehingga stabilitas daya beli masyarakat tetap terjaga. Sejalan dengan itu, sambungnya, pendapatan negara tetap optimal tanpa mengganggu roda ekonomi nasional.
Baca Juga
"Momentum yang tepat [menaikkan tarif PPN] adalah ketika pasar kembali ramai, UMKM berproduksi lancar, dan ekonomi bergerak aktif," tutupnya.
Pernyataan senada disampaikan oleh Anggota Banggar DPR Rico Sia. Menurutnya, wacana kenaikan tarif PPN pada tahun depan perlu dievaluasi meski sudah menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Rico mendorong penundaan kenaikan tarif PPN agar memastikan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 tidak terganggu.
"Kebijakan pajak harus dilihat dari dua sisi; kepentingan negara dan kondisi masyarakat. Jika keduanya tidak seimbang, dampaknya bisa kontraproduktif," kata Rico usai Kunjungan Kerja ke Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, dikutip dari situs DPR pada Sabtu (30/11/2024).
Politisi Partai Nasdem ini meyakini jika kebijakan tersebut dipaksakan maka akan semakin membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. Apalagi, lanjutnya, perekonomian belum pulih total.
Di sisi lain, Rico mengakui kebijakan peningkatan penerimaan pajak dibutuhkan untuk menekan defisit anggaran. Dia pun mengusulkan kebijakan kenaikan tarif pajak diperuntukkan untuk kalangan pengusaha besar yang memiliki kapasitas besar berkontribusi ke penerimaan negara.
Rico mengingatkan Presiden Prabowo Subianto menetapkan target pertumbuhan ekonomi mencapai 8% dalam lima tahun mendatang. Dengan demikian, kebijakan perpajakan yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi.
"Perlu diingat, ekonomi nasional sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Jika daya beli turun akibat kenaikan PPN, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat. Kita butuh kebijakan pajak yang lebih strategis dan adil,” katanya.