Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai rencana kucuran bantuan sosial (bansos) dari pemerintah kepada masyarakat untuk meredam dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% bukan solusi yang tepat.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, kebijakan PPN 12% yang diamanatkan berlaku pada 1 Januari 2025 sudah semestinya ditunda.
“Sebaiknya kenaikan tarif PPN ditunda sampai ekonomi pulih, 3 bulan saya rasa tidak cukup dan bansos bukan solusi tepat,” kata Esther kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).
Dia memperkirakan kenaikan 1% dari 11% menjadi PPN 12% berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,02%. Sebab, kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi sehingga akan memperlemah daya beli sehingga utilisasi dan penjualan pun menurun.
Akibatnya, penyerapan tenaga kerja ikut menurun dan pendapatan pun akan susut yang berakibat pelemahan konsumsi dan menghambat pemulihan ekonomi sehingga berujung menurunnya pendapatan negara.
Terlebih, kondisi perekonomian Indonesia mengalami deflasi 5 bulan berturut-turut sejak Mei sampai September 2024.
Baca Juga
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren deflasi pada bulan Mei sebesar 0,03%, kemudian 0,08% pada bulan Juni, 0,18% pada bulan Juli, 0,03% pada bulan Agustus dan 0,12% pada bulan September 2024.
Pada saat kondisi perekonomian Indonesia terkontraksi, pemerintah berencana menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% sejak 1 Januari 2025 sesuai yang tercantum dalam penjelasan dalam UU HPP Nomor 7 Tahun 2021, Pasal 7 ayat (1).
Padahal, pada 1 April 2022, PPN secara resmi dinaikkan dari 10% menjadi 11%. Kenaikan tarif PPN disebut bertujuan untuk reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan negara dari pajak sebagaimana dikutip darisitus resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Pemerintah juga mengemukakan bahwa tarif PPN Indonesia lebih kecil daripadaPPN di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu sebesar 15%.
Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara Asean, tarif PPN Indonesia tertinggi kedua setelah Filipina (12%), Singapura dan Thailand sebesar 7%, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Malaysia sebesar 10%, Myanmar 5%, serta Brunei tidak ada PPN.
Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengkritisi rencana pemberian bansos sebelum menerapkan kebijakan PPN 12%. Menurut dia, bansos tidak bisa dijadikan ‘bantalan’ sementara untuk masyarakat terdampak.
Sebab, pemerintah memiliki kriteria khusus bagi penerima bansos yang umumnya merupakan kalangan menengah ke bawah.
“Bansos ini terbatas dan tidak didapatkan oleh kelompok menengah ataupun calon kelas menengah yang saya kira ini yang kemudian akan menjadi perdebatan. Jika PPN 12% ini tetap diterapkan maka tekanan daya beli justru akan terdampak pada kelompok kelas menengah dan juga kelompok calon kelas menengah,” ujarnya.
Lebih lanjut, jika bansos disalurkan hanya dalam periode tertentu maka daya beli masyarakat tetap akan tergerus dengan kebijakan PPN 12% yang sifatnya tidak hanya periode waktu tertentu.
Tarif PPN tersebut akan berlaku selama pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang menunda atau menurunkan tarif pajak.
Untuk itu, pemerintah perlu melihat kondisi perekonomian saat ini dan indikator yang digunakan tentu harus secara menyeluruh.
“Betul, bahwa ekonomi mengalami pertumbuhan dalam 3 kuartal terakhir. Namun, yang juga perlu diperhatikan adalah pertumbuhan tersebut mengalami perlambatan,” jelasnya.
Selain itu, dampak terhadap kapasitas fiskal karena kenaikan tarif PPN ini juga akan ikut memengaruhi penerimaan secara umum di mana PPN merupakan salah satu pos terbesar yang menyumbang pada kantong penerimaan pajak secara umum.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasiona Luhut B. Pandjaitan mengatakan, pemerintah tengah menggodok stimulus bantuan sosial kepada rakyat, khususnya kelas menengah, sebelum tarif PPN 12% diterapkan.
"Ya hampir pasti diundur [kenaikan PPN jadi 12%], biar dulu jalan tadi yang ini [bantuan sosial]," kata Luhut kepada wartawan, Rabu (27/11/2024).
Luhut menegaskan, pemerintah harus memberikan insentif kepada masyarakat guna memulihkan daya beli konsumen dan ekonomi rakyat yang dinilai masih sulit.
Kendati demikian, hingga saat ini Luhut menyebutkan bahwa pemerintah masih menggodok perhitungan jumlah masyarakat yang berhak mendapatkan bansos tersebut.