Bisnis.com, JAKARTA – Investor kawakan Warren Buffett disebut telah meraup keuntungan lebih dari US$10 miliar atau sekitar Rp156 triliun (US$1=Rp15.600) dari hasil penjualan kepemilikan sahamnya di Bank of America atau BofA sejak Juli 2024.
Mengutip Reuters pada Rabu (9/10/2024), Buffett melalui perusahaannya, Berkshire Hathaway, mulai berinvestasi di perusahaan pemberi pinjaman terbesar kedua di AS pada 2011. Buffett memiliki 13,1% saham senilai sekitar US$45 miliar pada Juli 2024. Sederet penjualan terakhir yang dilakukannya telah mengurangi kepemilikan saham menjadi 10,1%.
Aksi jual besar-besaran yang dilakukan Buffett tampaknya membuat takut para pemegang saham BofA lainnya, pada saat prospek industri perbankan masih suram di tengah kekhawatiran akan kemungkinan resesi di AS.
Sejak penjualan pertama Berkshire pada bulan Juli, saham BofA telah kehilangan hampir 7% nilainya, sementara saham JPMorgan Chase, bank terbesar di AS, naik tipis 0,5%. Indeks Bank KBW telah meningkat hampir 2% pada periode yang sama.
“Ketika salah satu investor terkemuka Amerika melakukan penjualan, hal itu menimbulkan kekhawatiran,” kata Macrae Sykes, manajer portofolio di Gabelli Funds yang berinvestasi di BofA.
Sejak 2020, kepemilikan besar Buffett telah menjadikannya orang dalam perusahaan berdasarkan peraturan AS, tetapi dia tidak pernah bertindak sebagai investor aktif. Jika dia mengurangi kepemilikannya lebih lanjut, hal itu dapat memperburuk tekanan pada saham, kata para analis.
Baca Juga
“Anda harus memiliki pemahaman yang sangat, sangat, sangat mendalam terhadap perusahaan mana pun yang diperdagangkan oleh Buffett, untuk mengatakan bahwa Anda memahami segalanya lebih baik daripada dia,” kata Odysseas Papadimitriou, CEO perusahaan keuangan pribadi WalletHub.
Buffett belum mengungkapkan alasannya menjual sahamnya. Berkshire tidak segera menanggapi permintaan komentar, sementara BofA juga menolak berkomentar.
Bank tersebut akan melaporkan hasilnya minggu depan, bersama dengan rekannya Citigroup, dengan investor terus mencermati potensi dampak dari biaya simpanan yang lebih tinggi dan permintaan pinjaman yang lemah.
Saham BofA kemungkinan tidak akan pulih dalam waktu dekat, menurut Suryansh Sharma, analis ekuitas jasa keuangan untuk Morningstar Research, yang mengatakan saham tersebut tidak murah setelah pulih hampir 50% dari posisi terendah tahun 2023.
“Ke depan, sangat sedikit hal positif yang bisa terjadi, yang bisa semakin menguatkan saham,” ujarnya.
Buffett mulai berinvestasi di BofA pada tahun 2011, ketika banyak investor mengkhawatirkan kebutuhan modal bank setelah krisis keuangan.
CEO BofA Brian Moynihan memuji Buffett bulan lalu, menyebutnya sebagai investor hebat yang menstabilkan perusahaan. Sejak investasi Buffett, saham bank tersebut melonjak hampir enam kali lipat.
Moynihan mengaku belum mengetahui alasan dibalik penjualan saham tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, Buffett juga telah mundur dari Wells Fargo, sebuah perusahaan yang dimilikinya sejak tahun 1989. Portofolionya masih mencakup hampir US$3,5 miliar saham di Citi, yang berada di tengah kebangkitan di bawah CEO Jane Fraser.
Beberapa investor melihat langkah Buffett sebagai tanda keraguannya terhadap perekonomian AS di tengah inflasi dan kenaikan suku bunga. Sementara, beberapa investor lain menafsirkan tindakannya sebagai cerminan berkurangnya kepercayaan terhadap pasar saham, yang menurutnya, menunjukkan perilaku seperti kasino.
Namun BofA bukan satu-satunya saham yang dibuang Buffett baru-baru ini. Awal tahun ini, Berkshire mengurangi separuh kepemilikannya di raksasa teknologi Apple.
Pada pertemuan tahunan raksasa investasi tersebut pada bulan Mei, Buffett mengatakan penjualan tersebut masuk akal karena tarif pajak federal atas capital gain dapat meningkat tergantung pada siapa yang memenangkan pemilu AS.
“Buffett adalah entitas yang sangat hemat pajak. Ia sudah ada sejak lama,” kata Art DeGaetano, pendiri dan CIO Bramshill Investments.