Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan alasan di balik Uni Eropa menjegal komoditas kelapa sawit Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan negara produser komoditas sawit terbesar yang mampu memproduksi 45% dari global.
Ketua Bidang Kampanye Positif GAPKI, Edi Suhardi, mengungkap bahwa sebenarnya, Uni Eropa merupakan mitra ekspor komoditas. Namun, kini negara itu menjadi musuh dan menjegal sawit Indonesia.
“Kami melihat bahwa Uni Eropa ini telah berubah, mungkin secara gradual, dari dulu mungkin kita bisa jadi ber-partner, tetapi kalau sekarang dari sisi sawit telah menjadi rival,” kata Edi dalam acara CNBC Indonesia: Trade Corner Special Dialogue bertajuk ‘Strategi & Optimisme Kebijakan Perdagangan Luar Negeri hingga tantangan di WTO’ di Auditorium Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (29/8/2024).
Edi mengatakan bahwa Uni Eropa melakukan berbagai macam cara untuk melarang alias menjegal sawit Indonesia untuk masuk ke Uni Eropa.
“Mereka juga tahu akan kalah, tetapi mereka selalu berinovasi untuk mencari langkah baru untuk tetap menyerang Indonesia, baik CPO-nya maupun produk derivatif,” ujarnya.
Hal itu lantaran produk dari minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) maupun derivatif memiliki harga yang sangat murah dibandingkan produk Uni Eropa. Kondisi inilah yang melatarbelakangi Uni Eropa memusuhi sawit Indonesia.
Baca Juga
“Sebenarnya alasan kenapa Uni Eropa selalu menjadikan CPO atau kelapa sawit sebagai musuh bersama dengan produk derivatifnya adalah karena baik produk CPO maupun derivatif merupakan produk yang sangat murah dan sangat kompetitif yang tidak bisa disaingi oleh produk-produk dari Uni Eropa,” ungkapnya.
Terlebih, lanjut Edi, bahwa Uni Eropa juga memiliki perkebunan untuk memproduksi minyak nabati. Sayangnya, biaya produksi, harga bahan baku, hingga proses pembuatan minyak di sana jauh lebih tinggi.
“Uni Eropa juga memiliki perkebunan dan juga prosesor untuk memproduksi minyak nabati, berupa sunflower dan juga rapeseed. Di mana, biaya produksi, harga bahan baku, dan prosesnya itu jauh lebih mahal,” ujarnya.
Alhasil, sawit dilihat sebagai sebuah komoditas yang over kompetitif yang tida bisa disaingi melalui mekanisme perdagangan bebas. “Dan satu-satunya jalan untuk mencegah masuknya sawit dan produk derivatif adalah melalui hambatan perdagangan,” ujarnya.
Dia mengungkap ada tiga hambatan yang selama menghantam komoditas sawit, antara lain bea masuk anti dumping, bea masuk countervailing, dan non-tariff barriers.
Adapun, pada saat ini, Indonesia tengah menunggu kepastian dari UU Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan diterapkan. Menurutnya, pemerintah Indonesia paling proaktif terkait hal ini dibandingkan negara tetangga lain.
“Indonesia ini paling proaktif di sawit, meskipun kita bersaing dengan Malaysia, tetapi kita melihat bahwa pemerintah Indonesia selalu advance, dan Malaysia hanya mengikuti,” tandasnya.