Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

8,5 Juta Kelas Menengah Turun Kasta, Banggar DPR Kritisi Target RAPBN 2025

Pertumbuhan ekonomi selalu bergantung pada konsumsi domestik, sementara jumlah kelas menengah berkurang. .
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah dari Fraksi PDIP./Dok. DPR
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah dari Fraksi PDIP./Dok. DPR

Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyoroti 8,5 juta penduduk kelas menengah Indonesia turun kasta dari 2018 hingga 2023. Padahal, kelas menengah merupakan penopang penopang visi Indonesia Emas 2045.

Said mengaku kecewa dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang hanya di angka 5,2% dalam RAPBN 2025. Menurutnya, angka tersebut cenderung rendah—mengingat Indonesia harus menjadi negara pendapatan tinggi, dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kelima di dunia seperti visi Indonesia Emas 2045.

"Mengacu pada dokumen Visi Indonesia 2045, dibutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,4%. Asumsi ini sesungguhnya di level moderat, kalaulah kita belum melangkah hingga 6%," jelas Said dalam keterangannya tertulis, Selasa (27/8/2024).

Politisi PDI Perjuangan (PDIP) ini menjelaskan, selama ini pertumbuhan ekonomi selalu bergantung pada konsumsi domestik. Masalahnya, konsumsi domestik tersebut terancam menurun seiring dengan berkurangnya jumlah kelas menengah.

"Sejak enam tahun lalu, jumlah kelas menengah kita turun 8 juta jiwa. Padahal merekalah sebenarnya kelas penggerak konsumsi domestik," ujar Said.

Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya menjaga konsumsi domestik dengan inflasi yang terjaga rendah, investasi yang menopang pembukaan lapangan kerja baru, serta memberikan nilai tambah atas produk ekspor.

Di samping itu, Indonesia membutuhkan kontribusi investasi minimal 1,5% dan ekspor 0,5% sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Dengan demikian, lanjut Said, tulang punggung permintaan bukan hanya konsumsi domestik.

Lebih lanjut, dia mendorong agar pemerintah lebih progresif menyelesaikan berbagai persoalan struktural yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Said mencontohkan, persoalan struktural ekonomi Indonesia seperti biaya tinggi karena perizinan dan korupsi, ketidakpastian hukum, kualitas sumber daya manusia yang belum terampil, belum terjalin secara baik konektivitas antar wilayah, hingga menurunnya demokrasi.

"Berbagai persoalan ini sudah kita bincangkan sudah lama sekali. Namun seolah belum cukup energi untuk keluar sepenuhnya dari persoalan ini," katanya.

Kelas Menengah Turun Kasta

Laporan terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan, lebih dari 8,5 juta penduduk kelas menengah Indonesia turun kasta sejak 2018.

Dalam laporan Indonesia Economic Outlook Triwulan III/2024, LPEM UI mengategorikan kelas menengah sebagai penduduk yang memiliki peluang kurang dari 10% menjadi miskin atau rentan di masa depan berdasarkan konsumsinya saat ini—sesuai kategori Bank Dunia.

Berdasarkan definisi tersebut, LPEM FEB UI mengkalkulasikan jumlah kelas menengah di Indonesia berdasarkan garis kemiskinan tingkat kabupaten/kota.

Hasilnya, jumlah kelas menengah sempat meningkat cukup tajam dari 2014 hingga 2018: dari 39 juta (15,6% jumlah penduduk) menjadi 60 juta jiwa (23% jumlah penduduk). Meski demikian, setelah 2018 yang terjadi malah sebaliknya

“Sejak saat itu, penduduk kelas menengah mengalami penurunan hingga lebih dari 8,5 juta jiwa. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk kelas menengah hanya mencakup 52 juta jiwa [pada 2023] dengan proporsi populasi sekitar 18,8%,” jelas laporan LPEM FEB UI, dikutip Selasa (27/8/2024).

Masalahnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan jika Indonesia ingin mencapai status negara berpenghasilan tinggi maka jumlah kelas menengah harus ditingkatkan menjadi 70% dari populasi Indonesia pada 2045 alias Indonesia Emas.

Sejalan, LPEM UI juga mencatat bahwa daya beli kelas menengah terus tergerus sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Sejak saat itu, tren terjadi penurunan. Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Padahal, mengutip laporan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kelas menengah memegang peran penting bagi penerimaan negara: sumbang 50,7% dari penerimaan pajak.

“Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka mungkin berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan,” tekan laporan LPEM UI.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper