Bisnis.com, JAKARTA — Neraca perdagangan Indonesia diestimasikan melanjutkan tren surplus selama 51 bulan beruntun pada Juli 2024, yakni senilai US$2,47 miliar.
Hasil konsensus ekonom Bloomberg yang berasal dari 24 perusahaan tersebut memperkirakan estimasi nilai tengah atau median di angka US$2,47 miliar dengan prediksi tertinggi senilai US$3,6 miliar yang dirilis oleh JP Morgan Chase Bank.
Sementara estimasi terendah untuk capaian neraca perdagangan Juli 2024 ini masih positif di angka US$1 miliar dari Deutsche Bank AG.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Andry Asmoro yang tergabung dalam konsensus tersebut memperkirakan surplus perdagangan senilai US$2,5 miliar.
"Kinerja surplus perdagangan ini didukung oleh permintaan yang lebih tinggi terutama dari Amerika Serikat dan Eropa," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (15/8/2024).
Sejalan dengan surplus yang terjadi, kinerja ekspor turut diperkirakan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi sebesar 4,98% (year-on-year/YoY) dari Juni 2024 yang sebesar 1,17%.
Baca Juga
Meski demikian, peningkatan yang terlihat ini disebabkan oleh rendahnya base effect dari periode yang sama tahun lalu.
Surplus neraca perdagangan pun diperkirakan akan tumbuh dari posisi bulan lalu, Juni 2024 dengan catatan surplus US$2,38 miliar.
Tertekan Harga Komoditas Unggulan
Melihat komoditas ekspor unggulan Indonesia, Asmo menyampaikan nilai perdagangan batu bara akan menurun karena seiring dengan penurunan harga dan rendahnya permintaan dari importir India dan China.
Demikian pula pada komoditas nikel, di mana penurunan didorong oleh kelebihan pasokan di pasar nikel yang menyebabkan penurunan harga yang signifikan.
Sementara itu, Asmo memproyeksikan impor melemah secara tahunan, yakni sebesar -0,86% namun meningkat secara bulanan sebesar 5,15%.
"Pertumbuhan impor masih konsisten dari bulan ke bulan, ditopang oleh kinerja ekspor China yang terus tumbuh. Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, mengalami penurunan karena adanya base effect yang tinggi," jelasnya.
Berbeda dengan Asmo, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede justru memperkirakan surplus yang lebih rendah di angka US$2,39 miliar.
Hal tersebut akibat kinerja ekspor pada bulan Juli yang diperkirakan tumbuh 6,29% secara bulanan (month-to-month/MtM) atau 6,2% secara tahunan (YoY), tetapi surplus akan semakin sempit karena impor juga tumbuh 5,62% (MtM) dan -0,42% (YoY). Utamanya terdorong kenaikan harga minyak mentah Brent sekitar 3,3% (MtM).
Pasalnya, harga komoditas ekspor Indonesia yang cenderung meningkat seperti crude palm oil (CPO) sebesar 2,6% (MtM) dan batu bara 1,8% (MtM). Sekalipun volume ekspor cenderung melambat karena terindikasi dari penurunan PMI manufaktur dari mitra dagang utama Indonesia seperti Tiongkok, AS, India dan Korea.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyoroti dua komoditas ekspor pada Juli 2024, yakni tembaga dan CPO.
Ekspor tembaga tercatat melaju yang tercatat tumbuh 982% dan mendominasi sumbangan bea keluar sepanjang Juli 2024. Kebalikannya, CPO justru loyo karena harga yang melemah 5,9%.
"Volume ekspor kita turun dari 24 juta ton ke 20 juta ton turun 15%. Volume turun dan harga turun. Makanya CPO kita masih struggle," tuturnya dalam konferensi pers, Selasa (15/8/2024).
Berharap PMI Manufaktur Membaik
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengungkapkan penurunan kinerja manufaktur yang terjadi menyoroti lesunya permintaan pasar global dan domestik.
Dirinya mengkhawatirkan, impor untuk bahan baku dan penolong yang selama ini sudah menunjukkan kontraksi, akan berlanjut.
"Ekspor kita tumbuhnya relatif lambat terutama untuk manufaktur. Walaupun demikian, impor juga relatif melambat sehingga surplus masih di kisaran US$1 miliar—US$2 miliar," ungkapnya, Rabu (14/8/2024).
Prediksi dari Hosianna maupun Faisal terpantau lebih rendah dari realisasi Juni 2024 dengan surplus berada di angka US$2,39 miliar. Surplus ini berasal dari sektor nonmigas US$4,43 miliar, namun tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$2,04 miliar.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyadari PMI Manufaktur Indonesia merosot ke zona kontraksi tercermin dari sejumlah industri yang ‘ngos-ngosan’.
Sebut saja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), alas kaki, karet, hingga industri mesin yang babak belur akibat persoalan permintaan global maupun domestik.
Meski demikian, Indeks Keyakinan Bisnis dalam survei PMI terus menunjukkan peningkatan. Hal ini mencerminkan optimisme pelaku usaha terhadap kinerja dalam 12 bulan ke depan.
Sri Mulyani berharap PMI akan kembali ke zona akselerasi, terlilhat dari penunjukkan agregat demand positif, konsumsi membaik, investasi baik, konsumsi pemerintah menuju normal, ekspor membaik, impor membaik.
"Ada harapan PMI tidak akan terlalu lama di bawah 50," imbuhnya.
Proyeksi Ekonom soal Neraca Dagang Juli 2024
Ekonom |
Perusahaan |
Estimasi (US$/miliar) |
Fakhrul Fulvian |
Trimegah Securities |
2,4 |
Miguel Chanco |
Pantheon Macroeconomics Ltd |
1,5 |
Krystal Tan |
Australia & New Zealand Banking Grp. |
2,4 |
Euben Paracuelles |
Nomura Singapore Limited |
2,9 |
Cimb Ltd |
2,16 |
|
Hosianna Evalita Situmorang |
Bank Danamon PT |
1,29 |
Aldian Taloputra |
Standard Chartered Bank |
2,77 |
Helmi Arman |
Citigroup Securities Indonesia |
2,68 |
Deutsche Bank AG |
1 |
|
Brian Tan |
Barclays Bank PLC |
2,62 |
Alvin Liew |
United Overseas Bank Limited |
1,7 |
Pranjul Bhandari |
HK and SH Banking Corp Ltd SP BR |
2,51 |
David E Sumual |
Bank Central Asia Tbk PT |
2,20 |
Sin Beng Ong |
JP Morgan Chase Bank NA |
3,6 |
Jeemin Bang |
Moodys Analytics Singapore Pte Ltd |
2,5 |
Lavanya Venkateswaran |
Oversea-Chinese Banking Corp Limited |
1,6 |
Josua Pardede |
PT Bank Permata Tbk |
2,67 |
Rully Arya Wisnubroto |
Pt Mirae Asset Sekuritas Indonesia |
2,54 |
Fikri C Permana |
KB Valbury Sekuritas |
3,2 |
Helmy Kristanto |
Danareksa Securities PT/Jakarta |
2,89 |
Renno Prawira |
PT Ciptadana Sekuritas Asia |
1,2 |
Juniman Juniman |
PT Bank Maybank Indonesia Tbk |
2,45 |
Bank Negara Indonesia Persero Tbk |
2,39 |
|
Bank Mandiri Persero Tbk PT |
2,5 |
Sumber: Bloomberg